Di zaman ketika dusta bisa dikemas rapi dan kebatilan tampak seperti kebaikan, ayat-ayat Allah Swt. datang menegur nurani: “Maka tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.” (Yūnus: 32).
Tulisan ini bukan sekadar tafsir ayat, tapi panggilan hati agar manusia berani berpihak tanpa ragu—kepada yang benar, meski sunyi. Sebab kebenaran tak lahir dari banyaknya suara, melainkan dari kejernihan hati yang berpihak kepada al-Ḥaqq.
Di hadapan Allah Swt, tidak ada kebenaran setengah, tidak ada kejujuran yang “separuh jalan”. Begitu cahaya al-Ḥaqq meredup, bayangan kebatilan segera menelan segalanya. Karena itu, siapa pun yang masih bermain di wilayah abu-abu, sebenarnya sedang berjalan ke arah gelap tanpa sadar.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
“Maka tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.”
(Yūnus: 32)
Dan pada ayat lain, Allah Swt. berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ
“Kami lemparkan kebenaran kepada kebatilan, maka ia menghancurkannya.”
(Al-Anbiyā’: 18)
Dua ayat ini mengandung pelajaran besar tentang watak hakikat kebenaran. Ia tidak bersanding dengan kebatilan. Antara kebenaran dan kesesatan tidak ada zona abu-abu. Kebenaran itu satu, karena bersumber dari al-Ḥaqq (Allah), sementara kebatilan bercabang banyak karena lahir dari hawa nafsu manusia.
Tafsir Klasik dan Rasional
Imam Fakhruddin al-Rāzī dalam Mafātīḥ al-Ghayb menjelaskan:
“الْحَقُّ هو ما كان ثابتًا لا يتغير، والضلال هو ما كان باطلًا زائلًا”
‘Kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah, sedangkan kesesatan adalah sesuatu yang batil dan sirna.’
Artinya, kebenaran bersifat teguh dan berdiri di atas dasar Ilahi, sementara kebatilan tidak memiliki akar, hanya ilusi yang tampak hidup tetapi pasti lenyap. Maka ketika seseorang menjauh dari al-Ḥaqq, sejauh apapun, ia sejatinya sedang berjalan ke arah al-ḍalāl (penyimpangan). Tidak ada posisi tengah.
Imam al-Qurṭubī menafsirkan ayat فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ sebagai bentuk penegasan logika ilahiah. Kata mādhā (apa lagi) menunjukkan penafian mutlak: tidak ada sesuatu pun yang tersisa setelah kebenaran selain kesesatan. Dalam bahasa hari ini, itu berarti tidak ada “wilayah abu-abu” di antara keduanya.
Tafsir Sya'rawi: Hakikat yang Hidup
Syaikh Muḥammad Mutawallī al-Sya‘rāwī memberikan tafsir yang indah dalam Tafsīr al-Sya‘rāwī:
“الحق واحد لا يتعدد، لأنه قائم بذات الله، ومن ظن أن هناك حقين فقد جهل معنى الألوهية.”
“Kebenaran itu satu dan tidak berganda, karena ia berdiri dengan Dzat Allah. Barangsiapa mengira ada dua kebenaran, maka ia belum mengenal makna ketuhanan.”
Menurut beliau, kebenaran bukan sekadar konsep intelektual, tetapi realitas hidup yang memancar dari al-Ḥaqq sendiri. Karena itu, siapa yang menolak kebenaran sejatinya sedang menolak kehidupan spiritualnya sendiri.
Sya‘rāwī juga mengingatkan bahwa kebenaran tidak akan pernah hancur oleh banyaknya kebatilan, sebab sifat kebatilan hanyalah “bayangan yang tampak besar karena cahaya kebenaran belum dinyalakan.”
Hakikat Pertarungan al-Haqq dan al-Batil
Ayat kedua, بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ menggambarkan dinamika kosmis. Allah Swt. tidak menurunkan kebenaran untuk berdialog atau berkompromi dengan kebatilan, tetapi untuk menghantam dan menghancurkannya. Kata fayadmughuh berasal dari akar kata d-m-gh, yang berarti “memukul hingga hancur kepala”. Artinya, kebenaran menembus jantung kebatilan, menghancurkan logika dan struktur batilnya sampai lenyap.
Dalam kehidupan sosial, ayat ini menjadi peringatan keras: kebatilan—betapapun lembut, populer, dan tampak rasional—tidak bisa dibiarkan hidup berdampingan dengan kebenaran. Jika kezaliman atau penipuan dibiarkan dengan alasan “toleransi” atau “realitas politik”, maka yang terjadi bukan keseimbangan, melainkan pelunturan makna kebenaran itu sendiri.
Tafsir Isyari: Pertarungan di Dalam Diri
Para arif billāh menafsirkan ayat ini secara batiniah: pertarungan al-ḥaqq dan al-bāṭil tidak hanya terjadi di luar, tetapi juga di dalam diri manusia. Hati adalah arena di mana cahaya dan kegelapan bertemu. Setiap kali hati lalai dari Allah Swt., kebatilan menampakkan wajahnya berupa kesombongan, riya, cinta dunia, dan rasa ingin diakui.
Sahl al-Tustarī berkata: “إذا أشرق نور الحق في القلب، تلاشت ظلمات الباطل كلها.”
“Ketika cahaya kebenaran menyinari hati, semua kegelapan kebatilan lenyap tanpa sisa.”
Maka dzikir dan keikhlasan adalah cara manusia “melemparkan al-ḥaqq” ke dalam batinnya sendiri. Dzikir bukan sekadar ucapan, tapi cahaya yang menghancurkan kegelapan dari dalam.
Kesimpulan: Jangan Berdamai dengan Abu-abu
Pada akhirnya, dua ayat ini memanggil manusia untuk hidup jujur di hadapan Tuhannya: tidak mendua, tidak menawar. Sebab kebenaran yang dicampur kebatilan bukanlah kebenaran, melainkan kebatilan yang berganti rupa.
Sebagaimana firman Allah Swt: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۗ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Kebenaran telah datang dan kebatilan lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (Al-Isrā’: 81)
Maka jangan biarkan cahaya kebenaran dalam diri kita padam, hanya karena ingin terlihat “netral” di hadapan manusia. Sebab di sisi Allah, tidak ada abu-abu — yang ada hanyalah cahaya dan kegelapan. Wallāhu A‘lam bi al-Ṣawāb