Tafsir Al-Huda merupakan tafsir Al-Qur’an yang hadir dengan kepekatan nuansa budaya Jawa. Lahir dari semangat seorang purnawirawan asal Yogyakarta bernama Brigjend. Purn. Bakri Syahid pada tahun 1977 dalam mengadakan tafsir berbahasa Jawa halus dan tulisan latin yang sementara belum dijumpai pada masa itu.
Sementara kaitannya dengan aspek budaya dengan berkiblat kepada uraian Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, unsur kajian budaya meliputi tujuh hal, yaitu religi atau upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, teknologi dan peralatan hidup.
Berikut adalah hasil kajian terhadap Tafsir al-Huda atas ayat yang bersinggungan dengan unsur-unsur budaya tersebut.
Sistem Religi dan Ritual Kegamaan Masyarakat Jawa
Kejawen merupakan ajaran yang lahir dari kepercayaan yang dianut oleh aliran filsafat Jawa. Dari naskah-naskah kuno kejawen terlihat bahwa ia lebih berorientasi kepada seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi masyarakat Jawa yang kesemuanya berdekatan dengan nafas spiritualitas suku Jawa itu sendiri.
Ajaran kejawen menjadi salah satu manifestasi dari kuatnya sistem religi dalam tatanan masyarakat Jawa. Hal ini agaknya menjadi jawaban bahwa mereka yang berpegang kepada ajaran ini cenderung bersikap religius atau agamais. Dengannya sekaligus meneguhkan keyakinan budaya Jawa atas keesaan dan ketaan kepada Tuhan dan Rasul-Nya.
Itulah inti filsafat Kejawen yang bersesuaian dengan ajaran QS. An-Nisa’ [4]: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
He para wong Mukmin, sira padha angestokna marang Allah, Ian angestokna marang Rasul …”
Ajaran kejawen kemudian menelurkan ragam tradisi keagamaan sebagai bentuk pengorganisasian sosial-masyarakat Jawa, seperti slametan, upacara larung sesaji, tumpengan, nyadran, dan lainnya. Hal tersebut yang kemudian mendatangkan kenyamanan, kerukunan, ketentraman dan gotong royong yang menjadi ajaran Al-Qur’an.
Sistem dan Organisasi Sosial-Kemasyarakatan
Budaya Jawa memiliki beberapa organisasi sosial. Paguyuban menjadi salah satu kekhasan masyarakat Jawa yang dibentuk berasaskan kesamaan tujuan atau kepentingan. Di antaranya seperti paguyuban karawitan, ngesti tunggal, pedhalangan, tari, dan sebagainya.
Poin utama dari eksisnya paguyuban sebagai basis organisasi budaya Jawa dalam hemat penulis di antaranya adalah:
Rasa kebersamaan dan kekeluargaan, sebagaimana dalam QS. Ali Imran [3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
Bakri Syahid menjelaskan ayat tersebut demikian: “Lan sira padha nyekelana kalawan talining (Agama) Allah kang kukuh, lan sira aja padha pepisahan.” (Berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali (Agama) Allah, janganlah bercerai berai).
Saling membantu, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 2 disebutkan:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
“Padha tulung-tinulung ana ing tindak kebecikan, serta taqwa ing Allah…”. Menariknya, Bakri Syahid menyertakan kalimat “Ananging sira becik” sebelum kutipan tersebut yang memalingkan diri dari uraian sebelumnya dengan mengajak pembaca untuk berfokus terhadap hal setelahnya, yakni tolong-menolong.
Menghormati, sebagaimana dalam QS. An-Nisa’ [4]: 86:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ
“Lan sira padha dikurmati nganggo sawijining pakurmatan, banjur genthi padha ngurmatana sarana pakurmatan kang luwih becik…” (Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik…).
Toleransi yang banyak diajarkan Al-Qur’an, seperti toleransi terhadap perbedaan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13, toleransi beragama dalam QS. Al-Kafirun [109]: 1-5, dan lainnya. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang kemajemukan manusia, dan Al-Qur’an mengajarkan kita untuk saling toleransi satu sama lain.
Sistem Bahasa Jawa
Budaya masyarakat Jawa memiliki semangat bertata krama dalam bahasa yang tercermin melalui kekayaan unggah-ungguh basa-nya. Bahasa ngoko sebagai simbol kekariban terhadap teman sejawat atau di bawahnya dan krama sebagai simbol penghormatan terhadap yang lebih tua, memiliki jabatan, atau belum dikenal.
Al-Qur’an sangat mengakui dan menghargai keragaman bahasa, sebagaimana tafsiran Bakri Syahid atas QS. Rum [30]: 22
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ
“Lan saka sawenehe ayat tandha yekti Kasamupurnaning KakuwasaNe Allah, yaiku tumithaning langit-langit lan bumi serta beda-bedaning basanira lan warnaning kulitira”.
Kesenian Jawa dapat dinikmati salah satunya dalam pagelaran wayang kulit melalui beberapa alat musik semisal bonang, demung, kenong, gong, kenong, siter, gambang, slenthem, gender, dan gamelan Jawa. Atau berbentuk seni teatrikal seperti ludruk, tari seperti gambyong, dan musik seperti campur sari. .
Ragam kesenian ini yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga sarana deklamasi unsur sejarah dan nilai moral. Islam bukanlah agama yang membelenggu, ketika seorang muslim menghendaki keindahan dan kesenangan maka boleh ia menjangkaunya selagi dilakukan dengan cara yang benar.
Ajaran tersebut sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2]: 42. Bakri Syahid menafsirkan ayat ini dengan penegasan bahwa “Maksudipun Sholat jama’ah, utawi ateges sanes, inggih punika supados sami ndherek dhawuh-dhawuhing Allah sesarengan tiyang ingkang ta’at ing Allah.”
Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Masyarakat Jawa
Dalam tatanan masyarakat Jawa tradisional, dijumpai beberapa peralatan pertanian seperti luku, yakni semacam garu yang berfungsi untuk melunakkan tanah, membersihkan tanaman liar yang turut tumbuh bersama padi. Lazimnya, luku dijalankan dengan bantuan tenaga hewani seperti sapi dan kerbau.
Sementara teknologi tradisional dalam hal transportasi ialah dengan adanya andong, sepeda ontel, dan lainnya. Lahir pula peralatan kerajinan tangan layaknya canting (alat batik) dan tenun. Dari segi bangunan, rumah Joglo dan pendopo menjadi ciri khas arsitektur budaya Jawa.
Salah satu ayat yang berbicara akan teknologi adalah QS. Al-Baqarah [2]: 164. Bakri Syahid terkait ayat ini memberikan anotasi demikian “Wonten ing abad teknologi modern, Bangsa Indonesia ugi sampun neliti paedahipun energi Surya kangge elektrifikasi ing padhusunan...”
Uraian Bakri Syahid tersebut menegaskan bahwa Al-Qur’an sangat mendukung kemajuan teknologi sebagai fasilitator hidup manusia. Adapun masyarakat Jawa tentu mengikuti perkembangan tersebut seraya mempertahankan budaya yang telah ada sebelumnya.
Diskusi ini mendatangkan kegamblangan akan keragaman kondisi budaya masyarakat Jawa dengan berbagai tradisinya yang sejalan dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Sebabnya, melestarikan suatu budaya sebagai kekayaan Nusantara merupakan suatu keniscayaan bagi setiap masyarakatnya.
Sebagaimana anotasi Bakri Syahid terkait hal ini bahwa tujuannya adalah: “sagetipun lestantun gesang lan angsal jaminan ayem tentrem lan anggayuh makmur, pikanthuk kondisi ingkang baku (esensil) kangge lestantuning gesang, anggayuh tata lan tertib sosial ingkang tangguh, dipun bethaken wontenipun tata-tertibpun sosial kulturil.”