walyatalaththaf yang dalam aksara Arab وَلۡیَتَلَطَّفۡ bukan sekedar kata di dalam Kitab Suci. Lalu Apa? Coba sima catatan pendek ini.
Mushaf yang hari ini sudah tidak popule, namun memiliki daya untuk mengingatkan imaji magis.
Salah satu pencetak kitab dan buku-buku keislaman yang populer di Indonesia era 1950-an adalah PT. Maarif Bandung. Pendirinya adalah H. Muhammad bin Umar Baharthah, seorang keturunan Arab yang merantau ke Singapura pada tahun 1924 dan kemudian menekuni bisnis cetak kitab secara otodidak. Melihat peluang bisnis pencetakan di Indonesia yang menjanjikan, dia pindah ke Bandung, dan pada 1949 dia mendirikan N.V Kebijaksanaan Ma’arif. Tak berselang lama, nama itu diganti dengan PT. Al-Ma’arif. Lokasinya di Jl, Tamblong No. 48-50 Bandung.
Sebagai bisnis penerbitan kitab, PT. Al-Maarif juga mencetak dan menerbitkan mushaf Al-Quran dari tahun ke tahun. Mushaf Al-Qur’an yang diterbitkannya itu, pada era 1970-an memenuhi masjid-masjid dan musala di kampung dan berbagai kota. Saya menemukan mushaf yang diterbitkan tersebut ditashih pada tahun 1968 oleh Lajnah Pentashih Al-Quran di Indonesia.
Di masa kecil dulu, saya belajar membaca Al-Quran di langgar dengan kiai di kampung saya, menggunakan mushaf PT. Al-Maarif ini. Bentuk fisiknya sangat khas: memakai kertas koran, disampul dengan kertas karton tebal, sisi dalamnya dilengkapi asma al-husna yang dibingkai dengan bentuk lingkaran dan diberi warna merah. Dan satu hal yang eksotik dari mushaf ini adalah ukuran khatnya gemuk dan tebal. Di kemudian hari, saya menyebutnya sebagai karakter khath Bombay, karena jenis karakternya mirip dengan kitab-kitab yang beredar di Indonesia yang diterbitkan dan dicetak di Bombay.
Dulu, ketika antri menunggu giliran mengaji di hadapan kiai di langgar, saya suka membolak-balik lembaran mushaf ini, mencari halaman tengah dari mushaf edisi cetakan PT Maarif Bandung tersebut. Karena, di samping khathnya yang unik tersebut, di halaman tengah tersebut diwarnai secara mencolok, yaitu merah, baik pada ornamen persegi empat yang membingkai baris ayat dan juga khusus kata walyatalaṭṭaf.
Kini, di usia yang tak lagi muda, saya mengenang bagian tengah mushaf cetakan PT. Al-Maarif tersebut yang di bagian tengah mushaf, kata wal yatalaṭṭaf, ditulis dengan warna merah. Kata ini berada di QS. al-Kahfi/18: 19. Secara kebahasaan, kata ini berasal dari akar kata لطف (laṭf), yang berarti kelembutan, kehalusan, atau sikap penuh kasih. Secara literal, dalam konteks ayat ini, maksudnya adalah hendaklah kalian bersikap lembut, hati-hati, penuh kasih serta tidak mencolok. Kata ini juga lekat dengan salah satu Asmā’ al-Ḥusnā, yaitu al-Laṭīf (اللطيف), artinya Allah Maha Lembut atau Maha Halus dalam tindakan-Nya.
Topik yang dibicarakan dalam QS. al-Kahfi/18: 19 adalah bagian dari kisah penghuni gua (ashabul Kahfi) yang diabadikan Al-Qur’an. Dikisahkan, tujuh orang pemuda tidur dalam gua, karena mempertahankan iman dari penguasa lalim yang memaksa untuk menyembah berhala. Kiai Bisri Mustafa dalam tafsir Al-Ibrīz menyebutkan nama penguasa itu: Diqyanus, penguasa Romawi, yang memerintah antara tahun 249-251 M . Ibn Jarīr al-Ṭabarī dalam Jāmiʿ al-Bayān ʿan Taʾwīl Āy al-Qur’ān dan Ibn Kaṡīr dalam Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm mengisahkan bahwa tujuh pemuda tersebut ditemani seekor anjing, tidur dalam gua selama 309 (mengacu kalender Qamariyah) atau 300 tahun (mengacu kalender Syamsiyah) sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Kahfi/18: 25.
Setelah ratusan tahun tertidur dalam gua, mereka bangun, menyadari sesuatu pengalaman yang luar biasa. Dan karena membutuhkan bahan makanan, di antara mereka diminta keluar dari gua untuk membeli makan di kota. Kawan-kawannya berpesan, agar dia berhati-hati, jangan bertindak ceroboh, bersikap lemah lembut kepada siapa saja, dan tidak mengabarkan kebaradannya kepada khalayak. Dalam konteks pesan inilah, Al-Qur’an mengekspresikannya dengan kata wal yatalaṭṭaf, yang secara visual dalam mushaf Al-Qur’an cetakan PT. Al-Maarif diekspresikan visualnya secara eksotik.
Dalam Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr Ibnu ʿĀsyūr menjelaskan bahwa huruf ta’ dalam kata wal yatalathtaf merupakan pertengahan huruf-huruf Al-Qur’an, dan ini merupakan pandangan mayoritas ulama. Tetapi ada pula yang berpendapat lain. Ibnu Atiyah Al-Andalusi, penulis Al-Muḥarar Al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitābil ‘Azīz, mengutip pandangan Imam al-Nawawi bahwa bagian tengah Al-Quran tidak terletak di ayat 19 surah Al-Kahfi, tetapi di kata nukra (نُّكْرًا) pada ayat ke 74 surah Al-Kahfi.
Terlepas dari keragaman pandangan tersebut, saya ingin kembali fokus berkisah tentang mushaf Bombay tadi, yang dalam kasus ini, secara visual dan ekspresif memilih pendapat jumhur ulama. Mengikuti pilihan ini, secara simbolik saya memahami aspek visual mushaf ini. Di dalamnya terdapat peneguhan simbolik tentang pentingnya karakter kelembutan dalam kehidupan.
Pertama, dalam konstruksi etik, hal utama yang dibangun Al-Qur’an adalah kelembutan. Sebagai karakter, ia merupakan ekspresi cinta kasih, keselarasan, keadilan, dan kesetaraan. Nilai-nilai ini bersifat universal, dan dalam garis bidang diekspresikan dalam posisi tengah. Posisi tengah adalah simbol keseimbangan sehingga keadilan bisa diciptakan. Dalam Islam, dijelaskan bahwa sebaik-baik urusan adalah yang tengah, tidak ekstrim. Umat terbaik adalah yang mampu mengekspresikan wasatiyah. Ada banyak tema dibicarakan dalam Al-Qur’an, pada hilirnya yang dituju adalah kedamaian, dan jalan untuk mencapainya bila orang mampu mengekspresikan keseimbangan dan jalan tengah. Dalam sebagian tafsir, kata ṣirāṭ al-mustaqīm, dimaknai sebagai jalan tengah dan itu subtansi Islam dalam menciptakan keadilan dan kedamaiaan.
Kedua, kelembutan adalah salah satu dari nama-nama Indah Tuhan, yaitu Sang Maha Lembut. Ketika dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan kelembutan, di situlah kita sedang memancarkan citra Ilahi yang agung dalam interaksi sosial manusia. Menghadirkan kelembutan dalam kehidupan sosial adalah bagian cara kita menghadirkan Tuhan dalam dunia yang imanen. Tuhan yang transenden eksistensinya bisa dirasakan, diserap dan didekap secara kongkrit oleh manusia melalui tindakan-tindakan sosial. Sayyid Ḥusein al-Ṭabāṭabā’i dalam Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jilid 13, hlm. 340–345, menyebutnya sebagai manifestasi sifat Ilahi dan sekaligus jalan keselamatan.
Ketiga, kelembutan sebagai tindakan etis di dalamnya terdapat potensi kreatif manusia dalam membangun dan memahami relasi sosial secara detil, tampil sebagai diri yang peka dalam menyelami aspek terdalam kehidupan manusia. Kelembutan lahir dari proses kesabaran; kesabaran melahirkan kepekaan; dan kepekaan melahirkan kepahaman atas aspek terdalam dari tindakan manusia.
Keempat, kelembutan bisa menjadi jalan penyelesaian masalah. Sebagai karakter, kelembutan juga melahirkan kelenturan, dan kelenturan bisa menaklukan tantangan, seperti air yang adaptif atas segala kondisi. Orang yang mampu bersikap lentur, akan lebih mudah adaptif terhadap setiap kondisi dan perubahan. Orang yang memiliki kemampuan semacam ini, biasanya memiliki peran dan eksistensi yang lebih panjang tanpa harus menjadi bunglon, munafik atau licik.
Dalam Tai Chi kelenturan merupakan gerakan yang melahir dan adaptif. Ia menjadi inti dari gerakan Tai Chi: tubuh bergerak lambat, halus, dan mengalir, menyerupai air yang menyesuaikan bentuk wadahnya. Gerakan Tai Chi tidak mengandalkan kekuatan otot, tetapi pengaturan napas, keseimbangan, dan relaksasi otot. Filosofinya berasal dari prinsip wu wei (tidak memaksakan), yaitu bertindak tanpa kekerasan, tetapi tetap efektif. Dalam Kungfu, kelenturan memungkinkan praktisi untuk menghindar, membalikkan serangan, dan menyesuaikan diri dengan lawan. Aliran seperti wing chun dan bagua zhang menekankan gerakan melingkar dan fleksibel, bukan frontal dan keras.
Seni bela diri Tiongkok ini mengajar makna di balik kelenturan dan kepekaan. Kelenturan dan kepekaan merupakan bentuk kecerdasan tubuh: kemampuan merespons dengan tepat, bukan bereaksi secara impulsif. Dalam konteks spiritual, ini mencerminkan prinsip yin-yang: keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara aksi dan penerimaan; dalam Islam dikenal prinsip jamal-jalal.
Para leluhur di Jawa mengajarkan prinsip kelembutan dan kelenturan ini dalam prinsip etik alon-alon waton kelakon; sura dirajayaningrat lebur dening pangastuti; dan memayu hayuning bawana. Alon-alon waton kelakon adalah cermin sikap tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan, dan perencanaan yang matang serta lembut dalam bertindak. Sura dirajayaningrat, lebur dening pangastuti adalah kisah kekuatan kasih sayang. Arogansi dan mental keakuan serta kesombongan bisa dikalahkan oleh kasih sayang. Kelembutan bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menyelamatkan. Sedangkan memayu hayuning bawana adalah cara menjaga dan memperindah dunia.
Dalam pandangan dunia orang Jawa prinsip utama dalam hidup adalah berperan dalam menciptakan kedamaian dan keseimbangan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan sikap halus dan penuh welas asih. Sebagai karakter, wal yatalaṭṭaf mengajarkan kita bahwa ada jalan keluar dari setiap masalah dan ada pintu keluar saat jeda karena jalan tersumbat, ketika orang bersedia mempraktikkan kelembutan sebagai tindakan etis.
Di era desrupsi sekarang, kelembutan, keselarasan, dan keadilan penting ditumbuhkan dalam etika beragama, sosial dan politik. Keselarasan antara jasmani dan rohani; lahir batin; dunia dan akhirat; penguasa dan rakyat. Keselamatan dan kesejahteraan bisa tumbuh subur ketika terjadi keselarasan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia. Demikian kita diingatkan dalam nilai tri hita karana, dan itulah juga prinsip wal yatalaṭṭaf.
Guru Besar ilmu Tafsir dan Al-Quran di UIN Raden Mas Said Surakarta. Kini sebagai Direktur Pascasarjana UIN Raden Mas Said Surakarta dan Pengurus Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Indonesia.