Dalam beberapa hari terakhir, dunia menyaksikan amukan massa pada sejumlah fasilitas umum. Sasarannya massa bukan saja polisi, gedung DPR di berbagai tempat, rambu-rambu lalu lintas, tetapi juga rumah pribadi. Sejumlah rumah anggota DPR dijarah massa. Massa tak terkendali, mengamuk, menjarah, merusak hingga pembakaran. Setidaknya ada tiga anggota DPR RI yang rumahnya diamuk massa; Ahmad Sahroni dari Partai Nasdem, Eko Patrio, dan Uya Kuta dari PAN.
Mereka diamuk massa karena tabiatnya dinilai melukai masyarakat umum; arogan, narsis, sok tahu, pamer, dan tidak sensitif. Muncul pertanyaan semua orang: apakah para anggota DPR itu akan menyesal? Cukup sukar menjawab pertanyaan ini, meskipun ada sanksi oleh parpol untuk mereka, meskipun Nafa Urbach dan lain-lain meminta maaf dan menyatakan menyesal. Publik menilai sanksi nonaktif tidak serius karena cuma sementara.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, setidaknya, kita harus melihat 4 hal:
Pertama, motif orang menjadi anggota DPR. Mengapa orang ingin menjadi anggota DPR? Mengapa orang 9.917 (data Pemilu 2024) berjejalan ingin duduk di DPR? Jika sekali batal masuk, maka akan daftar lagi. Jika gagal, maka akan daftar lagi untuk pemilu mendatang. Ada orang mendaftar hingga 4 bahkan 5 kali bahkan 6 kali. Ada orang menjabat DPR 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun, 35 tahun, hingga 37 tahun. Masya Allah! Mengapa demikian?
Sebabnya adalah uang dan segala fasilitasnya. Kehormatan dan privilese-privilesenya. Popularitas dan segala watak yang mengikutinya. Selain motif materi, para anggota DPR itu merasa tidak memiliki kewajiban yang berarti. Merasa pekerjaannya enak, mudah, ringan dan begitu-begitu saja. Tidak terlihat mereka pusing, memikul beban dan harus tanggung jawab. Inilah jawaban mengapa mereka ngomongnya ngawur, mengapa mereka tidak risih pamer jas, batik, mobil, makan, dan jalan-jalan. Naudubillah! Ada yang serius, bertanggung jawab? Ada!
Kedua, motif partai politik merekrut mereka. 18 partai politik yang bertarung di pemilu 2024 memperebutkan 20.614 (termasuk DPD 152 kursi) kursi DPR dan DPRD seluruh Indonesia. Partai politik dinilai serampangan memilih para calon legislatif, satu dari tiga pilar sistem ketatanegaraan kita. Penilaian itu terlihat dari siapa yang calon yang memperoleh angka di atas, siapa yang dapat 'tiket'. Orang yang memiliki kekayaan, orang yang memiliki popularitas, orang yang memiliki akses politik dan dunia usaha. Itulah basis terbesar parpol memilih calon anggotanya. Mengapa demikian?
Tentu saja ini jalan pintas untuk menang. Tentu saja ini jalan pintas untuk mengontrol. Ini menjelaskan kepada kita semua mengapa, merujuk data Tempo, 354 dari 580 anggota DPR adalah pengusaha atau terafiliasi dengan dunia usaha. Ini mayoritas atau 61 persen, meningkat dari legislatif periode sebelumnya yang 51%. Belum lagi mereka yang tersambung dengan frasa klasik dalam politik: dinasti,
Ketiga, syarat-syarat menjadi anggota DPR. Masyarakat menganggap syarat menjadi anggota legislatif itu mudah sekali. Tidak ada syarat berpendidikan tinggi. Tidak ada syarat memili pengetahuan tertentu. Tidak ada syarat pengalaman tertentu. Tidak ada syarat memiliki bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak ada syarat memiliki etika tertentu. Bahkan, mantan narapidana pun boleh mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Syarat utama menjadi dewan, yang dipilih partai, ada pada poin kedua di atas.
Keempat, latar belakang pendidikan anggota DPR. Data anggota DPR RI 2019-2024 yang pernah makan bangku kuliah S1-S2 memang mendominasi, yaitu lulusan D4/S1 sebanyak 198 anggota (34,4%) dan lulusan S2 sebanyak 210 anggota (36,5%). Sementara itu, yang lulus SMA dan sederajat 'cuma 56 anggota (9,7%), dan lulusan S3 sebanyak 53 anggota (9,2%), lulusan D3 sebanyak 6 anggota (1%), dan 52 anggota (9%) yang menempuh pendidikan lainnya. Namun, jika ditelisik lebih dalam, pertanyaan akan muncul, apakah pendidikan mereka proposional dengan keperluan pekerjaan mereka yang beragam dan harus kuat?
Dari 4 poin di atas, apakah kita bisa menjawab pertanyaan: Apakah anggota DPR RI akan menyesali sikap, omongan dan tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan hati nurani rakyat? Apakah akan ada perubahan besar di dalam gedung rakyat? Apakah partai politik mampu menerima aspirasi para konstituennya? Anda sendiri yang akan bisa menjawab semua pertanyaan itu!