Pada setiap bernostalgia Proklamasi, orang-orang mengingat dua nama: Soekarno dan Mohammad Hatta. Mereka teringat di lembaran kertas bersejarah. Jutaan orang pun mengingat mereka dalam foto hitam-putih: berdiri di serambi rumah dalam peristiwa singkat tapi menentukan nasib Indonesia. Nostalgia merdeka sering merujuk Soekarno dan Hatta. Kita tentu tak boleh melupakan nama-nama di sekitar Proklamasi agar sejarah bergerak gara-gara bersama.
Kita membuka buku-buku biografi Soekarno dan Hatta bakal menemukan kesaksian atas pengalaman bersejarah. Mereka dalam pengalaman-pengalaman mendebarkan dan mengharukan berlatar 1945. Dua tokoh memang tak memberi pengisahan sama dan tepat. Soekarno dan Hatta sebagai pelaku sejarah memiliki siasat pengisahan berbeda merujuk 17 Agustus 1945. Cara berbahasa pun menimbulkan kesan-kesan sejarah tak selalu sama.
Pada 2025, sejarah Proklamasi berusia 80 tahun. Kita masih mengenang Soekarno dan Hatta. Album kenangan itu ingin terlengkapi dengan membaca pengisahan dilakukan oleh tiga tokoh: Ahmad Soebardjo, Adam Malik, dan Mohamad Roem. Mereka dalam arus sejarah Indonesia dengan peran berbeda bereferensi Proklamasi.
Kita mulai dengan membuka buku berjudul Lahirnya Republik Indonesia (1972) susunan Ahmad Soebardjo. Ia menjadi pelaku sejarah 1945. Peran untuk pemuliaan Indonesia sudah terjadi sejak masa 1920-an saat ia menempuh studi dan membesarkan gerakan kaum muda di Belanda. Buku kecil terbit setelah tersaji berupa serial artikel dalam bahasa Inggris. Penerjemahan dalam bahasa Indonesia dimaksudkan agar orang-orang selalu teringat titik terang sejarah 1945.
Ahmad Soebardjo menerangkan: “Di antara kami yang masih hidup sekarang ini telah mengalami hari-hari tegang dari revolusi nasional kita dan sesungguhnya merupakan suatu perang kemerdekaan, masa antara 17 Agustus 1945-27 Desember 1949.” Ia memiliki pengalaman-pengalaman penting terbahasakan kepada publik setelah berjarah puluhan tahun. Mohammad Hatta (1976) memberi pujian: “Jalan hidup Ahmad Soebardjo hampir sejalan dengan pergerakan kebangsaan di Indonesia.” Pengakuan mengandung kebenaran.
Kita menilik sejarah 1945 diawali di kelas-pengajaran bagi kaum muda di Jakarta. Pengisahan menuju proklamasi mengesankan agenda keintelektualan agar Indonesia mulia. Ahmad Soebardjo menulis: “Saya telah berhasil menarik Soekarno, Hatta, Iwa Koesoema Soemantri, Sjahrir, Singgih, dan lain-lain sebagai guru. Mereka datang ke asrama dua kali seminggu untuk memberi kuliah dalam berbagai mata pelajaran. Soekarno dan Hatta karena kesibukan pekerjaan mereka, tidak dapat berkunjung secara teratur tapi mereka telah berusaha sebaik-baiknya memberikan sumbangan. Soekarno mengajar sejarah politik. Hatta memberi kuliah tentang ekonomi. Iwa Koesoema Soemantri tentang hukum pidana umum. Singgih tentang kebudayaan Indonesia. Sanoesi Pane tentang sejarah Indonesia. Soewandi tentang sejarah pergerakan nasional Indonesia.”
Pada babak menjelang proklamasi (1945), kaum muda mengasah pemikiran beragam tema untuk membentuk Indonesia. Mereka dalam pengajaran serius agar mengerti pijakan dan ancangan masa depan Indonesia. Kita mendapat ingatan tentang citarasa intelektual untuk Indonesia mulia. Pengajaran itu berbeda dari bedil, pekik, dan lagu.
Kita mundur dulu dari pengisahan Ahmad Soebardjo untuk mengetahui segala tanda seru diberikan oleh Adam Malik. Pada 1948, ia sudah mengingatkan:
“… di waktu setahun Proklamasi kita diperingati, banjaklah dikeluarkan tjerita-tjerita atau keterangan-keterangan dan karangan-karangan jang menjangkutpautkan dan meriwajatkan Proklamasi itu menurut fantasi si penulis atau si pengarang sadja, sehingga melampaui batas kemestian dari kebenaran riwajat Proklamasi itu sendiri. Jang lebih mengherankan lagi, banjak dari keterangan-keterangan sengadja memudji-mudji dan menjangkutpautkan nama beberapa orang pemimpin pada waktu-waktu peringatan proklamasi itu sebagai salah satunja pemimpin jang benar-benar menghendaki adanja proklamasi. Tetapi, keadaan jang sesungguhnja sebaliknya, bahkan pemimpin jang disebutkannja itu termasuk orang-orang jang bimbang dan takut adanja Proklamasi. Melihat keadaan itu sudah semestinjalah segala kedustaan dan kebohongan jang ditaburkan di halaman riwajat Proklamasi kita dibersihkan dengan menerangkan riwajat jang sebenarnja, supaja rakjat kita terutama generasi jang akan datang djangan sampai tertipu atau dapat dibohongi tjerita-tjerita fantasi belaka.”
Kita mendapat peringatan tentang produksi dan peredaran dusta, kebohongan, dan fantasi merujuk proklamasi. Adam Malik dalam buku berjudul Riwajat dan Perdjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: 17 Agustus 1945 (1956) itu pelaku sejarah, berhak memberi tanda seru agar tak terjadi pembesaran fantasi Proklamasi. Sejarah wajib ditulis menggunakan kaidah-kaidah kebenaran, bukan menimbulkan pesta fantasi dengan gegeran dan kuasa kesalahan-kesalahan.
Pada 1945, Adam Malik masuk sejarah sebagai kaum muda. Pada masa Orde Baru, ia berada di tampuk kekuasaan. Ia sering hadir dalam arus sejarah Indonesia. Sosok boleh mengumbar tanda seru dan memberi pengisahan berbeda merujuk 1945. Kita membaca kesaksian Adam Malik mudah memicu polemik bagi pihak-pihak bernostalgia merdeka.
Situasi menjelang 17 Agustus 1945: “Bung Karno-Hatta sebagai pemimpin mendapat udjian karena sikap, langkah, djiwa serta semangat rakjat lebih madju dari mereka. Ukuran hidup sekelilingnja itulah jang menentukan radikal atau revolusionernja seseorang. Ukuran ini pun dapat dikenakan kepada Bung Karno dan Hatta karena selama masa pendudukan Djepang, mereka menduduki tempat jang diagung-agungkan. Mereka mendapat kedudukan jang enak dan dimandjakan tetapi djauh dan asing dari rakjatnja. Itulah mungkin sebabnja mereka lemah dan ragu-ragu dalam menghadapi saat segenting itu.” Sejarah biasa disampaikan penuh pembuktian atas keberanian dan pengorbanan itu agak “dibantah” oleh pelaku sejarah. Adam Malik bukan tokoh utama tapi penilaian itu mengesankan ada sangkaan perasaan memicu kisruh tafsir sejarah 1945.
Kita akhiri usaha bernostalgia merdeka dengan membuka buku berjudul Pentjulikan, Proklamasi, dan Penilaian Sedjarah (1970) oleh Mohamad Roem. Kita membaca kesaksian dan penilaian cukup bisa digunakan dalam menunda kebenaran dan kepastian dalam sejarah. Proklamasi memang sejarah wajar memicu perdebatan sepanjang masa.
Mohammad Roem menjelaskan hari-hari mendebarkan di pertengahan Agustus 1945. Segala peristiwa mengandung ragu, marah, berani, kecewa, tegas, sedih, dan judes. Kita mengutip tulisan Mohamad Roem: “Demikianlah achirnja tertjapai proklamasi kemerdekaan tanah air. Waktu peserta-peserta meninggalkan rumah Maeda sudah djam 5 pagi dan kedjadian-keadjadian hari itu seterusnja akan merupakan formalitas belaka, kalau nanti djam 10 pagi, tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi akan diutjapkan. Tanggal 17 selandjutnja akan terkenal dalam sedjarah, djustru pada hari peserta dapat tidur, tidak hari-hari tanggal 15 dan 16 Agustus, jang memetjahkan urat sjaraf.”
Sejarah ditentukan oleh orang-orang “memaksa” melek. Proklamasi itu terjadi akibat penculikan dan rapat menimbulkan debat ruwet. Mereka itu para pemimpin dan kaum muda dalam jam-jam melawan takut, lelah, dan tidur. Sejarah tak boleh tercipta dengan lelap di ranjang dan impian-impian semu cepat berlalu. Begitu.