Bagi sebagian orang, desa adalah tempat mudik. Bagi sebagian orang lagi, desa ialah ruang kenangan yang terus memudar. Bagi sebagian yang lain, desa merupakan eksotisme yang menggairahkan. Namun, bagi Sunarno, seorang akademisi sekaligus pegiat budaya dari suatu dusun kecil di pinggiran Bengawan Solo, desa adalah awal mula. Sebuah mula dari ruang sosial dan spiritual. Sebuah altar bagi pergulatan manusia-manusia terhadap takdirnya.
Buku berjudul Lali Sumber Ketiwasan (LSK) karya Sunarno ini mendedah hal-hal tersebut. Melalui buku yang berisi kumpulan tulisan historis-reflektif tersebut, Sunarno tak sedang meromantisasi kehidupan desa lalu mengutuk modernitas dengan penuh kesinisan. Sunarno berupaya menyejarahkan kehidupannya serta kehidupan desanya lengkap dengan manusia-manusianya.
Kehidupan manusia-manusia di desa acap kali dipandang sebelah mata. Seakan manusia-manusia di desa hanyalah angka. Padahal setiap manusia merupakan rentetan kisah yang menubuh. Dalam raga tiap manusia, tersimpan kisah-kisah panjang mengenai kebermulaannya, hingga identitas yang membentuk dirinya pada hari ini.
Maka tak heran mengapa Sunarno memberi judul bukunya yang berisi tujuh bagian kehidupan orang-orang di Dusun Teluk, Ngawi, Jawa Timur ini dengan judul Lali Sumber Ketiwasan. Dalam tulisannya, Sunarno tak sekadar menuliskan romantisisme di desa. Ia memaknai, menuliskan nama-nama lengkap dengan kisahnya, serta berupaya mengangkat harkat orang-orang desa yang mayoritas wong cilik.
Kendati buku ini menuliskan kehidupan orang-orang desa yang terletak di ujung barat Jawa Timur, namun buku ini relevan dengan kehidupan hari ini. Buku ini semakin relevan saat kita tahu kenyataan hari ini bahwa kebijakan dari pusat alih-alih menyelesaikan problem, justru memperkeruh keadaan dan menyulut gejolak. Seperti perampasan ruang hidup masyarakat adat, pembangunan yang mengindahkan pranata sosial masyarakat desa, hingga lokalitas-lokalitas yang hanya dijadikan seremonial oleh pemerintahan.
Melupakan Asal Memicu Kerentanan yang Fatal
Frasa Lali Sumber Ketiwasan mungkin tak asing bagi penggemar wayang kulit. Frasa itu berasal dari akhir lirik tembang dolanan karya Ki Narto Sabdo yang berjudul Enthik-Enthik.
Tak salah jika Sunarno memberi judul bukunya yang berisi tujuh bagian tentang kehidupan desa dan manusianya dengan judul Lali Sumber Ketiwasan. Judul itu dapat diartikan dengan dua makna. Pertama, lali, sumber ketiwasan. Lupa, bisa jadi sumber celaka, musibah, atau kesialan. Hal ini mengingatkan kita pada filsuf Spanyol George Santayana yang mengatakan bahwa mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu ditakdirkan untuk mengulanginya.
Kedua, lali sumber, ketiwasan. Melupakan asal, melupakan sumbernya, maka akan celaka. Sumber merupakan asal muasal. Bisa asal muasal penciptaan, asal muasal kelahiran, asal muasal berbangsa, asal muasal pengetahuan, hingga asal muasal peradaban. Ketika seseorang melupakan asal muasalnya, ia akan rentan disergap kesepian, terasing, dan gagap dalam melakoni hidup. Pasalnya identitas seorang manusia hari ini terpaut erat dengan asal muasalnya, leluhurnya, budayanya.
Lebih parah lagi jika dalam berbangsa, seorang pemimpin atau pemangku kebijakan melupakan asal mula bangsa. Asal mula terpilihnya seseorang yang mendapat mandat untuk memimpin: rakyat. Oleh karena itu, lupa serta melupakan sumber dapat menjadi sebuah kesialan, musibah, serta pamali.
Dunia Wong Cilik
Topik utama buku ini mencakup kehidupan wong cilik di desa. Wong cilik berarti rakyat jelata, rakyat yang berpenghasilan tak menentu, serta tak memiliki kekuasaan. Hidup dalam ketidakpastian tersebut membuat wong cilik kerap dipandang sebelah mata dan keberadaannya bagi orang kota hanya sebagai deretan tubuh yang dihitung—tanpa nama, tanpa sejarah.
Padahal dalam wong cilik-lah kita belajar banyak hal. Terutama mengenai siasat hidup serta kecerdikan dalam menumbuhkan harapan yang tak pernah selesai. Kendati rezeki yang ia miliki tak menentu, bergantung pada kondisi alam yang makin ringkih, wong cilik tetap memiliki pusaka pamungkas. Bagi wong cilik, “Pusaka pamungkas dalam merawat dan menghidupi harapan adalah doa. Doa dijadikan [sarana] untuk membeli harapan.”—hlm. 150.
Gambaran mengenai wong cilik tersebut cukup dominan dalam buku ini. bagi Sunarno dan kawan-kawan segenerasi tahun 80-an yang ia anggit dalam buku ini, sawah, kebonan, sungai Bengawan Solo ialah dunianya. Selain itu terdapat pula Jamban Teluk, Guyangan, serta Engkol-Engkol yang merupakan tempat khusus bagi warga desanya.
Tempat-tempat itu bukan sekadar tempat untuk menuntaskan kepentingan masing-masing warga desa—seperti Jamban Teluk sebagai tempat buang, Guyangan sebagai tempat memandikan hewan ternak (rajakaya), Engko-Engkol sebagai tempat masyarakat desa mengadakan ritual Nyadran tahunan. Di tempat-tempat tersebut, ruang sosial terjalin, pengetahuan tereproduksi, dan solidaritas bertumbuh.
Selanjutnya, ruang-ruang publik bagi wong cilik desa tak hanya didapati pada tempat-tempat khusus, seperti aula pertemuan ataupun balai desa. Ruang publik, ruang reproduksi pengetahuan dan informasi di desa dapat ditemui di tempat-tempat seperti bok (jembatan kecil yang dibangun di atas sungai kecil, saluran air, atau got yang biasanya ada di pertigaan, depan rumah, atau di persimpangan jalan).
Ruang semacam itu juga ditemukan di dapur-dapur orang desa yang memiliki hajat atau acara. Di dapur, ibu-ibu akan membantu menyiapkan perihal konsumsi. Hal ini biasanya disebut rewang. Sedangkan di luar rumah, bapak-bapak, tua-muda, besar-kecil, bersama-sama menyiapkan keperluan untuk hajatan. Hal yang demikian ini bagi orang desa menjadi sarana untuk sesrawungan. Saling berjumpa dan memupuk jalinan kepercayaan satu sama lain.
Pager Mangkok dan Pager Tembok
Ada pepatah Jawa yang diulas Sunarno dalam buku tersebut dengan mendalam dan reflektif. “Pager mangkok luwih becik tinimbang pager tembok.” Pagar mangkok lebih utama daripada pagar tembok. Pagar mangkok dalam hal ini dimaknai sebagai kesalingan; saling berbagi, saling membantu, saling peduli. Sedangkan pagar tembok dimaknai sebagai kehidupan yang individual dan enggan peduli.
Kebiasaan wong cilik di desa yang kerap sesrawungan tersebut menimbulkan kepedulian dan solidaritas sesama. Bahkan, dalam hal ini kehidupan di lingkungan Sunarno, anak dari seseorang juga dianggap anak milik semua. Bila ada seorang anak yang orang tuanya sedang sibuk, maka tetangga-tetangga dengan sigap akan momong (menjaga) mereka.
Rasa kepercayaan dan kepedulian tersebut cukup akrab kita temukan dalam buku ini. Melalui “pager mangkok luwih becik tinimbang pager mangkok”, Sunarno mengajukan sebuah pertanyaan yang menggugat: jika pepatah tersebut dijadikan alternatif pedoman dalam hidup berbangsa, bukankah kemiskinan dan kemelaratan tak ada lagi?
Pada akhirnya saya teringat dengan Filsuf Rousseau. Menurutnya manusia pada dasarnya baik, tetapi dirusak oleh sistem yang tak adil. Melalui Lali Sumber Ketiwasan yang ditulis Sunarno ini, kita tahu bahwa rasa saling percaya dan kebaikan manusia itu ialah kodrat. Sebelum akhirnya terpendam oleh modernitas yang berlari cepat. Kita juga tahu bahwa wong cilik layak dan perlu untuk menyejarah. Singkatnya, sejarah bukan hanya milik kota. Ia adalah milik tubuh setiap manusia.
Identitas Buku:
Judul : Lali Sumber Ketiwasan
Penulis : Sunarno
Penerbit : Rua Aksara
Tahun : 2025
Ketebalan : xiv + 208 halaman
ISBN : 978-623-6650-63-9