Delapan puluh tahun sudah Republik Indonesia berdiri. Sebuah perjalanan panjang yang tidak mudah, dibangun dengan darah, air mata, dan doa para pahlawan. Kita merayakan peringatan ini dengan upacara, parade, dan simbol-simbol kebangsaan. Namun kemerdekaan bukanlah sekadar bendera yang berkibar atau lagu kebangsaan yang berkumandang. Ia adalah amanah yang harus dihidupi, dijaga, dan diwariskan dengan penuh tanggung jawab.
Pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan: apakah kemerdekaan ini telah benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat? Apakah cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan sudah terwujud dalam kehidupan berbangsa hari ini? Atau, jangan-jangan kemerdekaan baru dinikmati sebagian kalangan, sementara rakyat kecil masih berjuang sekadar untuk hidup layak.
Keadilan Sosial yang Masih Harus Diperjuangkan
Konstitusi kita menegaskan bahwa negara harus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun fakta di lapangan menunjukkan masih banyak ketimpangan. Pembangunan ekonomi belum merata. Di kota besar, kita melihat gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan megah, dan fasilitas modern. Sementara di pelosok, masih ada warga yang kesulitan mendapatkan listrik, air bersih, pendidikan layak, bahkan akses kesehatan dasar. Artinya: Kita harus selalu berjuang untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bersama.
Kesenjangan ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah moral dan politik. Ketika segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya, sementara sebagian besar rakyat berjuang keras untuk bertahan hidup, di sanalah ruh kemerdekaan dipertaruhkan. Kemerdekaan sejati tidak akan terwujud selama ketidakadilan dibiarkan.
Allah Swt. telah mengingatkan dalam kitab-Nya (QS An-Naḥl [16]:90) bahwa manusia diperintahkan untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi hak kepada yang berhak, serta dilarang dari perbuatan zalim dan merugikan orang lain. Pesan ini berlaku universal: tanpa keadilan, masyarakat akan rapuh, kepercayaan publik runtuh, dan kemerdekaan kehilangan maknanya.
Kemerdekaan bukanlah hadiah cuma-cuma. Ia adalah titipan yang harus dijaga bersama, dari presiden hingga kepala keluarga. Rasulullah Saw mengingatkan bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Ini berarti tanggung jawab menjaga kemerdekaan tidak hanya berada di pundak pemerintah, tetapi juga di tangan setiap warga negara.
Pejabat publik memikul amanah yang berat: menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mengelola anggaran secara transparan-akuntabel, dan memastikan kebijakan berpihak pada rakyat kecil. Namun rakyat pun punya tanggung jawab: menjaga persatuan, tidak mudah terprovokasi, dan aktif mengawasi jalannya pemerintahan.
Persatuan Sebagai Tiang Kemerdekaan
Salah satu warisan terpenting para pendiri bangsa adalah semangat persatuan. Indonesia yang majemuk—dengan ratusan suku, bahasa, dan agama—tidak akan bertahan tanpa fondasi persaudaraan dan toleransi. Ancaman perpecahan, baik dari provokasi politik, sentimen agama, maupun kepentingan ekonomi, selalu mengintai.
Kita harus sadar bahwa disintegrasi bangsa tidak selalu datang dari luar. Ia bisa tumbuh dari dalam, ketika rasa saling percaya melemah, ketika kepentingan kelompok mengalahkan kepentingan bangsa, dan ketika fitnah serta kebencian dibiarkan merajalela. Karena itu, menjaga persatuan adalah bagian tak terpisahkan dari menjaga kemerdekaan.
Kemerdekaan tidak hanya soal terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Negara yang sehat adalah negara yang mendengar warganya, menghargai kritik, dan mengakomodasi aspirasi rakyat dalam kebijakan publik.
Prinsip musyawarah yang diajarkan oleh bangsa ini, dan juga oleh agama, mengingatkan kita bahwa keputusan terbaik lahir dari dialog, bukan dari kesewenang-wenangan. Ketika rakyat merasa suaranya diabaikan, mereka akan kehilangan kepercayaan. Tetapi ketika mereka dilibatkan, pembangunan akan berjalan lebih adil, merata, dan berkelanjutan.
Mengisi kemerdekaan berarti menghadirkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari: kejujuran, amanah, kepedulian sosial, dan kerja keras. Itu berarti memastikan anak-anak miskin mendapat pendidikan, pekerja menerima upah layak, lansia tidak terabaikan, dan setiap warga bisa hidup aman dan bermartabat.
Bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga peran masyarakat sipil, dunia usaha, tokoh agama, dan generasi muda. Semua harus bergerak, tidak hanya menuntut tetapi juga memberi kontribusi nyata.
Peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi ajang evaluasi diri, bukan sekadar pesta kembang api dan lomba-lomba. Setiap tahun kita bertanya: sudahkah kita lebih adil dari tahun lalu? Sudahkah kemiskinan berkurang? Sudahkah kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya meningkat?
Jika jawabannya masih “belum”, maka kemerdekaan belum sepenuhnya hidup. Perayaan tanpa perbaikan hanyalah ilusi.
Menatap Masa Depan Indonesia
Di usia 80 tahun ini, Indonesia memiliki potensi besar. Bonus demografi, kekayaan alam, dan posisi strategis di dunia memberi peluang emas. Namun semua itu bisa menjadi beban jika kita tidak bijak mengelolanya. Korupsi, ketidakadilan, kesenjangan pendidikan, dan kerusakan lingkungan bisa meruntuhkan fondasi bangsa.
Kita harus berani mengambil langkah tegas: memperkuat integritas, menegakkan supremasi hukum, memperluas akses pendidikan, dan membangun ekonomi yang berkelanjutan. Kita juga harus membentengi persatuan dari ancaman disintegrasi yang bisa datang kapan saja.
Kemerdekaan bukan sekadar warisan sejarah, melainkan tugas lintas generasi. Setiap tindakan menegakkan keadilan, setiap upaya memperjuangkan hak yang tertindas, dan setiap kepedulian kepada sesama adalah cara kita menjaga api kemerdekaan tetap menyala.