Harus diakui, makan adalah sesuatu yang begitu berarti dalam sejarah peradaban. Keberadaannya kemudian menautkan pada banyak peristiwa di dalam kehidupan. Hal tersebut bahkan menjadi penanda dari kenabian Rasulullah Saw. Keterangan mengenai itu misalnya dapat kita simak dalam buku garapan dari Ibnu Hazm al-Andalusi, yang terjemahan bahasa Indonesianya pernah dilakukan oleh Indi Anullah, berjudul Intisari Sirah Nabawiyah (Alvabet, 2002).
Terdapat penjelasan salah satu budi pekerti Nabi Muhammad Saw berupa: “Beliau duduk bersama orang-orang fakir, makan bersama orang-orang miskin, sedang berada bersama orang-orang yang menjaga kehormatan karena budi pekerti mereka, dan menjalin persahabatan dengan orang-orang mulia dengan berbuat baik kepada mereka.” Kita paham, persoalan makan mendudukkan pada watak dan kepribadian sebagai manifestasi hubungan dengan sesama.
Makan kemudian juga menautkan pada kesejarahan kitab suci, salah satunya pada Al-Qur’an. Tak ayal, ada pengakuan menarik dari penulis berkebangsaan Inggris, Karen Armstrong dalam bukunya, yang terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam (Mizan, 2023). Armstrong memberi pengalaman yang menunjukkan kekagumannya terhadap keberadaan Al-Qur’an akan pengertian mengenai alam.
Ia menulis: “Ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad pada awal abad ke-7, sebagian besar orang Arab di Hijaz hanya memiliki sedikit waktu untuk alam. Iklim Jazirah Arab yang keras tanpa ampun berarti bahwa tidak pernah ada cukup makanan untuk menopang kehidupan penduduk, yang terus-menerus di ambang kekurangan gizi. Tapi, yang luar biasa, Al-Qur’an menegaskan bahwa alam adalah mukjizat utama Allah.”
Pernyataan Armstrong memberi keterangan penting akan kesejarahan dan rahasia-rahasia di dalam kandungan Al-Qur’an yang perlu menjadikan umat Islam berpikir untuk lebih jauh. Dalam hal itu, kaitanya dengan makan, tiada lain berhubungan pada ayat-ayat yang banyak mengisahkan mengenai makan. Secara spesifik adalah penyebutan nama-nama tumbuhan dan pohon, yang menegaskan Al-Qur’an memberi satu kisah penting akan urusan makan.
Mafhum kedudukan ilmu gizi menjadi satu hal yang menarik di dalamnya. Pada posisi ini, menjadi penting bahwa ayat-ayat di dalam Al-Qur’an menyiratkan kandungan ragam ilmu dan pengetahuan sebagai bekal manusia di dalam menapaki perjalanan kehidupan. Kedudukan Al-Qur’an kemudian membutuhkan penafsiran dengan penerapan metode-metode. Sebagai aras keberjalanan peradaban, ia menjadi bagian proses itu sendiri, yang dengan demikian harus didudukkan sebagai hal yang dinamis.
Perihal mengenai gizi, ada buku yang pernah digarap oleh Maimunah Hasan berjudul Al-Qur’an dan Ilmu Gizi (Madani Pustaka, 2001). Di sana Maimunah Hasan menguraikan berbagai hal tentang Al-Qur’an. Mulai dari ilmu dan pengetahuan, gizi, hingga obat. Di buku, kita mendapatkan keterangan berupa: “Pada saat Al-Qur’an diturunkan, manusia belum mengenal apa itu Ilmu Gizi. Akan tetapi di dalam Al-Qur’an sendiri telah dijelaskan “Apa, Mengapa, dan Bagaimana” manusia mengkonsumsi makanan.”
Acuan tersebut menjadikan Maimunah Hasan meneroka ayat-ayat di dalam Al-Qur’an sebagai bukti dalam memberikan penjelasan demi penjelasan. Ia kemudian memberi hubungan terhadap istilah-istilah yang lazim kita ketahui dalam ilmu gizi. Baik itu karbohidrat, mineral, protein, vitamin, air, lemak, dan zat-zat lainnya. Hal itu kemudian menjadikan keberadaan Al-Qur’an senantiasa relevan terhadap perkembangan pengetahuan modern.
Keterangan ditulis: “Allah telah menentukan bahwa akal pikiran manusia mengalami proses evolusi seiring dengan proses peradaban manusia. Di dalam Al-Qur’an memang tidak diperinci unsur-unsur gizi apa saja yang diperlukan bagi hidup manusia, akhirnya ditemukan unsur-unsur gizi yang diperlukan bagi hidup manusia, mulai dari air hingga vitamin dan mineral.”
Upaya meneroka kandungan demi kandungan ilmu dan pengetahuan di dalam Al-Qur’an menjadikan kita menilik peranan kalangan cerdik cendikia dalam membuka dialog maupun percakapan kepada publik. Cendekiawan Andi Hakim Nasoetion adalah salah satu nama yang pamrih akan urusan ilmu dan dakwah dalam beberapa peristiwa. Kita dapat membuka kumpulan tulisannya yang berjudul Manusia Khalifah di Muka Bumi (Litera Antarnusa, 1986).
Buku memuat ceramah dan khotbahnya di sekian peristiwa. Andi Hakim memberi perhatian persoalan makan dan gizi. Kita menemukan tulisan berjudul “Gizi Baik sebagai Persiapan Menjadi Khalifah di Bumi”. Ceramah tersebut pernah disampaikan di Mimbar Agama Islam TVRI pada 9 Januari 1984. Misi dakwah ilmu dan agama dilakonkan oleh Andi dalam membuat ajakan sadar kepada publik dengan mendasarkan keberadaan ayat suci.
Di sana Andi mengetengahkan gizi dan keterhubungannya dengan penyiapan generasi. Ia menjelaskan: “Sel otak itu terdiri atas bahan yang tinggi mutunya. Kalau makanan yang diterima janin melalui kandungan ibunya tidak cukup, baik mutu maupun banyaknya, sel-sel otak yang terbentuk itu mungkin berkurang mutu banyaknya. Demikian pula kalau makanan yang diterima bayi dalam bentuk air susu dari ibunya dan makanan tambahan lain tidak sesuai kadarnya, perkembangan pembentukan otak akan mengalami hambatan.”
Makan dan secara luas berhubungan dengan ilmu gizi terus penting hingga kini. Acuan-acuan mengenai ilmu dan pengetahuan menjadi dasar. Betapa pun, dalam konteks keberadaan Islam menautkan pada kehadiran Al-Qur’an yang menjadi sumber ilmu dan pengetahuan dengan penyiratan pada kemampuan mendayagunakan akalbudi. Makan memberi keterhubungan akan pertumbuhan dan perkembangan regenerasi.
Kita memahami, tindakan demi tindakan dari keberadaan makan membentuk watak maupun karakter bagi manusia. Makan memberi kedudukan pada kesejarahan, relasi terhadap alam, hingga kemampuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Pelajaran demi pelajaran yang ada menyiratkan religiositas. Makan kemudian menjadi salah satu daftar penting dalam episode manusia untuk senantiasa menjadikan insan yang terus bertakwa.[]