Industri musik gegeran dalam urusan hak cipta dan uang (pembagian keuntungan). Ribut panjang dengan deretan argumentasi. Pelbagai pihak menginginkan keterbukaan, keadilan, dan kehormatan. Musik memang merdu dan indah tapi masalah-masalah terus bertambah. Indonesia anggap saja sedang “sumbang” dan “ruwet” mengganggu kemerduan.
Di Mahkamah Konstitusi, ada hakim omong mengenai lagu Indonesia Raya gubahan WR Soepratman. Konon, ahli waris penggubah lagu berhak mendapat rezeki bila menerapkan aturan-aturan dalam hak cipta dan kaidah-kaidah industri musik di Indonesia. Kita diminta berpikiran Indonesia Raya dan uang. Lagu bersejarah itu dihadirkan dalam sengketa belum ada kejelasan. Pengandaian dilakukan dalam masalah hukum, sejarah, hiburan, dan kemanusiaan menimbulkan kerepotan menghasilkan konklusi: jernih dan elok.
Kita mendingan memuliakan Indonesia Raya sambil berikhtiar mengenali WR Soepratman, arus sejarah, dan geliat seni. Sejak 1928, jutaan orang di Indonesia bersenandung Indonesia Raya. Lagu itu moncer tapi pengetahuan tentang komponis seperti WR Soepratman selalu sedikit dimengerti oleh murid-murid di pelbagai jenjang sekolah. Publik pun sekadar mengetahui nama, foto, dan sekian lagu pernah digubah.
WR Soepratman wajib teringat lagi mumpung peringatan 80 tahun Hari Kemerdekaan. Kita telanjur selalu mengingat Soekarno dan Mohammad Hatta. Di peristiwa 17 Agustus 1945, WR Soepratman hadir melalui lagu untuk mengiringi pengibaran bendera merah-putih. Pada ketetapan “resmi”, tata upacara bendera mewajibkan membawakan lagu Indonesia Raya dan imbuhan lagu-lagu nasional.
Kita tak mampu menghitung jumlah pemutaran lagu WR Soepratman di radio atau televisi. Di pelbagai tempat, lagu itu diperdengarkan tanpa ada beban mengenai “keuntungan”. Di Mahkamah Konstitusi, WR Soepratman dan Indonesia Raya sempat dibahas sejenak untuk kembali ke masalah ribut pembagian keuntungan dan kehormatan pelbagai pihak di industri musik Indonesia.
Tanggal kelahiran WR Soepratman (9 Maret 1903-17 Agustus 1938) “telanjur” dijadikan pijakan peringatan Hari Musik Nasional. Biografi komponis belum diakrabi publik meski sudah ada penulisan buku-buku. Tokoh itu sudah dinovelkan oleh Yudhi Herwibowo. Penggarapan film bertokoh WR Soepratman pun terwujud. Pada setiap Agustus, kita berhak menjadikan ia termasuk tokoh utama agar publik makin mengenali. Ia tak sempat menjadi saksi dan menikmati kemerdekaan.
Kita mengutip dari pengisahan B Soelarto dalam buku berjudul WR Soepratman: Pencipta Lagu Indonesia Raya (1983). Masa kecil: “Di Jakarta, Wage Soepratman menjadi murid sekolah dasar Boedi Oetomo. Ia menjadi anak yang cerdas karena selalu tekun dan rajin belajar. Setiap tahun selalu naik kelas dengan nilai sangat memuaskan. Dan, sejak masih menjadi murid sekolah dasar, ia sudah fasih berbicara bahasa Belanda dan Melayu. Ia harus sering berbahasa Belanda karena suami-istri WM van Eldik tinggal di perkampungan orang Belanda. Kebanyakan teman sepermainan Wage Soepratman adalah anak-anak Belanda. Dengan mereka, ia berbahasa Belanda. Tetapi dengan teman-teman sekolah dan anak-anak kampung, ia selalu berbahasa Melayu. Dengan kakak kandungnya dan kakak iparnya, ia lebih sering berbicara dalam bahasa Melayu atau bahasa Jawa.” Bocah dalam kemeriahan bahasa. Ia ikut dalam keluarga kakak perempuan bersuamikan WM van Eldik.
Masa bocah berpengaruh saat ia bermain musik di pelbagai tempat, berpredikat jurnalis, dan pengarang novel. Ia sadar bahasa-bahasa dalam turut pergerakan politik nasional; Lagu-lagu digubah dengan lirik berbahasa Indonesia. Kita pasti mengingat Indonesia Raya dalam peristiwa Sumpah Pemuda (1928). Sosok tak mau sombong dengan mencipta lagu berjudul atau menggunakan lirik berbahasa Belanda atau Inggris. Ia pantas jadi rujukan bagi orang-orang mengaku mau memuliakan Indonesia.
Kita bakal bingung jika lagu bersejarah itu berjudul menggunakan bahasa Belanda atau Inggris. Lagu pantas terhormat ketimbang kita dibikin kecewa oleh film animasi berlagak memuliakan Indonesia tapi membuat judul dalam bahasa Inggris. Film itu dibuat untuk diputar di Indonesia, ditonton orang-orang Indonesia menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.
Kita membuka buku berjudul Tragedi Kehidupan Seorang Komponis: Biografi WR Soepratman (1985) susunan Soebagijo IN. Sosok penuh tragedi tapi selalu terpuji di Indonesia sepanjang masa. “Riwayat hidupnya sama sekali tidak ditaburi bunga mawar dan disinari cahaya bulan purnama. Sebaliknya, penderitaan demi penderitaan selalu membuntuti hidupnya,” tulis Soebagijo IN.
Babak memicu kesadaran perlawanan terjadi saat WR Soepratman bekerja sebagai jurnalis di Bandung. Pengisahan: “Pada suatu hari, ia dikerubuti oleh tiga orang sinyo. Dalam perkelahian yang tidak seimbang, sinyo-sinyo itu selain menendang dan memukul Soepratman, masih mengata-ngatainya dengan sebutan ‘vuile inlander’ atau ‘inlander busuk’ atau ‘pribumi bau’.” Bekerja dalam pers dan ikut perkumpulan makin memberi kekuatan untuk melawan kolonialisme. Kemahiran bermain biola dan paham musik menjadikan ia mengikuti hasrat menggubah lagu demi Indonesia.
Konon, ia tersulut pidato-pidato Soekarno. Deret kata teringat: “Airnya yang kau minum. Nasinya yang kau makan. Hawanya yang kau hirup. Karena itu kita semua harus mengabdi kepadanya, kepada Ibu Pertiwi, kepada Ibu Indonesia!” Kita diajak mengenali sosok komponis dalam gelisah. Soebagijo IN seperti suguhkan adegan dalam novel atau film: “Siang dan malam, dia menjadi gelisah, sukar untuk tidur. Hari dan jiwanya dipenuhi gagasan yang ada hubungannya dengan lagu kebangsaan. Dia sering duduk menyendiri, tak hendak diganggu oleh siapa pun. Kadang-kadang matanya hanya memandang kepada cahaya minyak tanah yang nyalanya mobat-mabit karena embusan angin yang menyelinap dari celah-celah dinding tempat tinggalnya.” Kita berimajinasi waktu-waktu menggubah lagu Indonesia Raya. Lagu dibuat dalam gelisah dan derita. Ia berhasil menggubah lagu memuliakan Indonesia, bukan lagu cengeng tentang asmara.
Ia mungkin tak pernah mengira lagu berjudul Indonesia Raya bakal ikut menentukan arah sejarah Indonesia: 1928 dan 1945. Pada saat kita mewarisi lagu Indonesia Raya dan puluhan lagu gubahan WR Soepratman, masalah biografi belum tergarap dengan apik dan lengkap. Orang-orang masih penasaran dengan lakon asmara WR Soepratman. Polemik pun pernah muncul berkaitan tempat kelahiran.
Pada 2016, Direktorat Jenderal Kebudayaan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) menerbitkan buku kecil berjudul Merayakan Indonesia Raya. Kita membaca sedikit biografi, sejarah pergerakan politik, dan undang-undang. Indonesia Raya itu lagu kebangsaan. Lagu diatur dengan undang-undang. Kita mengutip isi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 mengenai lagu Indonesia Raya wajib diperdengarkan: (a) untuk menghormati presiden dan/atau wakil presiden; (b) untuk menghormati bendera negara pada waktu pengibaran atau penurunan bendera negara yang diadakan dalam upacara; (c) dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah; (d) dalam acara pembukaan sidang paripurna MPR, DPR, DPRD, dan DPD; (e) untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi; (f) dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; (g) dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.
Pada suatu hari, Prabowo Subianto menganjurkan agar lagu Indonesia Raya disuguhkan di televisi setiap pukul 6 pagi. Anjuran dituruti tanpa harus ribut berurusan dengan undang-undang. Di depan televisi, orang-orang mendengar lagu Indonesia Raya sambil melihat gambar-gambar ditampilkan tapi tak jaminan para penonton mengenali WR Soepratman. Begitu.