Innalillahhi, berdasarkan info BNPB, 1.003 orang meninggal dunia, 218 orang hilang, dan ribuan lainnya terluka, dalam bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“Pendengar Pro 1 RRI, kami sampaikan informasi tentang hilang kontaknya rombongan Kepala RRI Takengon saat melakukan perjalanan dari Meulaboh menuju Takengon lewat jalur Beutong. Rombongan berangkat pada hari Rabu, 26 November 2025 pkl 07.30 WIB dari Meulaboh, dan sampai saat ini, Jumat 28 November 2025 tidak bisa dihubungi dan tidak diketahui keberadaannya. Kepada pendengar yang berjumpa dengan rombongan, mohon bantuan dapat menginformasikan keberadaan mereka ke RRI. Demikian, terima kasih,” demikian isi pengumuman yang bergaung di RRI nasional.
Ani Mubarok, Kepala Stasiun RRI Takengon, mengisahkan terjangan banjir dan longsor di Aceh Tengah, hingga menyebabkan ia dan tim hilang kontak. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan dinas dari Meulaboh. Tak disangka, longsor yang menimbun jalan dan memutuskan jembatan-jembatan menghentikan perjalanan mereka. Selama tiga hari rombongan Ani tak kunjung tiba di Takengon hingga menimbulkan kecemasan pihak RRI di Aceh dan Jakarta.
“Pada waktu itu, rombongan RRI Takengon yang berjumlah lima orang sedang dalam perjalanan menuju Banda Aceh menggunakan mobil dinas. Selain saya, ada empat staf yaitu Kepala Subbag Tata Usaha, Kepala Tim Teknis, satu staf teknik serta supir. Kami berangkat dengan pakaian dinas karena mau menjemput Direktur Teknis dan Media Baru (TMB) dari Jakarta untuk meninjau pemancar di RRI Takengon,” kisah Ani kepada Alif, Jumat (12/11).
Mereka berangkat Senin sore (24/11) dan tiba pada Selasa pagi (25/11). Sesuai rencana, mereka akan makan siang di Banda Aceh dan mengikuti pertemuan di Meulaboh keesokan paginya, Rabu (26/11). Siapa sangka, perjalanan dinas ini batal terlaksana karena mendapat kabar bahwa Takengon banjir dan longsor. Ani memutuskan ia dan tim untuk pulang lebih awal.
Rombongan mereka melewati daerah Beutong dan saat melewati jembatan terlihat debit air sudah deras sekali. Supir sempat berhenti untuk melihat apakah ada mobil lain yang melintas. Perjalanan diteruskan meski perlahan-lahan.
“Satu jam kemudian, di sebuah permukiman ada warga yang menyetop mobil dan mengatakan ada longsor yang menutupi badan jalan, mobil tak bisa lewat. Di sini kami mulai hilang kontak. Tak ada jaringan internet dan telepon seluler sama sekali,” tutur Ani.
Jalan di depan mereka sama sekali tak bisa dilewati karena longsor parah. Warga sekitar mulai menawari makanan, tapi Ani menolak karena ia mengira perjalanan dapat diteruskan. Ternyata pemikirannya salah. Hari makin gelap dan akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di mushola.
“Penduduk setempat datang membawakan selimut dan makanan, padahal mereka juga sama-sama pengungsi. Hujan terus turun tanpa henti, saya khawatir banjir dan longsor susulan sampai-sampai tidak berani tidur,” kata Ani.
Dari mushola, rombongan Ani bergerak menuju kantor Kecamatan dengan harapan dapat memperoleh akses komunikasi. Semua hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan, Ani menyaksikan sawah-sawah dan rumah-rumah penduduk hancur tertimbun longsor.
Ternyata, kantor kecamatan Celala sepi dan keadaannya gelap gulita. Salah satu warga mengusulkan untuk mengungsi ke Desa Kuyun, yang terletak sekitar 7 Kilometer dari kecamatan. Maka ke sanalah rombongan Ani melangkah untuk mencari sinyal sekaligus menginap. Jumat pagi (28/11) dalam cuaca cerah mereka memutuskan untuk kembali ke Takengon.
“Warga di kampung membantu ikut mencari empat motor supaya kami bisa berangkat bersamaan. Saya berjalan tanpa alas kaki, melewati medan yang sulit yang hanya bisa dilewati motor dan itu pun bolak balik turun. Akhirnya, setelah dua jam kami tiba di Kota Takengon sekitar jam 11:00 WIB,” kata Ani.
Di kantor RRI Takengon mereka disambut derai-derai air mata dari rekan-rekan yang cemas. Namun jaringan komunikasi dan listrik masih padam. Pada Sabtu (29/11), ketika jaringan internet dan seluler pulih, Ani mendapati ratusan pesan masuk --termasuk pengumuman ketika rombongannya dinyatakan hilang dalam beberapa hari. Akses Starlink dari pemerintah sudah diantar ke desa-desa.
“Saat itulah saya baru mengetahui bahwa RRI nasional memberitahukan bahwa kami hilang kontak. Saya kemudian membalas kabar dari sanak saudara dan teman-teman di Jakarta. Satu rekan yang tertinggal di Desa Enang-enang dijemput dan malah bertemu di tengah perjalanan karena diantar warga. Mobil dinas kami masih tertinggal di desa itu. Alhamdulillah kami semua selamat,” ujar Ani.
Di Takengon, mereka mendapati keadaan yang tak kalah menyedihkan dari desa-desa yang tertimbun longsor dan banjir. Akses listrik kadang muncul kadang padam. Bahan bakar (BBM) tersedia namun jumlahnya terbatas. Warga antre berkilo-kilo meter untuk mendapatkan bensin. Sementara itu, harga beras saat ini naik dua kali lipat. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) hanya melayani penarikan tunai hingga Rp500 ribu, dan itupun hanya di Bank Aceh dan BRI.
“Saya sedih melihat banyak warga kekurangan air bersih, gas untuk memasak tidak ada, dan mereka memasak dengan kayu bakar dan mandi di sungai. Banyak warga yang kelaparan,” ungkap Ani dengan sangat prihatin.
RRI Takengon sempat tidak melakukan siaran sama sekali. Namun sejak 2 Desember mereka berjuang untuk terus menyampaikan informasi kepada publik meski hanya mampu dua jam.
“Akhirnya kami dapat siaran meski hanya dua jam karena solar terbatas. Tapi kami berupaya untuk siaran semaksimal mungkin agar warga tetap bisa mendengarkan informasi dari Takengon. Kami juga mengandalkan (peralatan) handy talky (HT) agar mampu menyiarkan laporan langsung dari tim liputan di Bener Meriah. Kami ini korban, tapi tetap berusaha siaran meskipun terhambat di sana sini,” kata Ani.
Hingga 13 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyebabkan 1.003 orang meninggal dunia, 218 orang hilang, dan ribuan lainnya terluka. Sebanyak 158 ribu rumah rusak dan 52 kabupaten/kota terdampak.
Tiga provinsi mengalami kerusakan sangat parah, yakni Aceh (Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Selatan), Sumatera Utara (Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan), dan Sumatera Barat (Kota Padang, Padangpariaman, Solok, Agam, Tanah Datar).
Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.