Di setiap senja yang turun perlahan, saat angin membawa harum tanah yang baru saja disiram hujan, simbah duduk di gubug sawah padinya, menyelipkan kata-kata yang lebih dalam dari akar. "Ngaji, Nyantri, dan Tani," katanya, seolah hidup hanya sesederhana itu. Tapi seiring waktu, aku memahami bahwa kesederhanaan itu adalah kompleksitas yang tersembunyi.
Dunia ini berlari kencang. Mesin-mesin menyala tanpa henti, layar-layar digital mengaburkan batas antara siang dan malam. Di tengah gemuruh zaman modern yang semakin melesat, pesan simbah terasa seperti tali yang kuat, menjaga agar aku tak hanyut terbawa arus. “Angeli nanging ora keli”.
Ngaji : Menemukan Tuhan di Antara Hiruk-Pikuk Dunia
"Ngaji itu lebih dari sekadar membaca," simbah sering bercerita, "itu perjalanan menembus waktu, menemukan Tuhan di antara setiap huruf."
Ngaji di zaman ini bukanlah perkara mudah. Di saat semua orang berlomba-lomba menjadi yang paling benar, ngaji mengajarkan kita untuk mendengar—bukan hanya suara di luar, tapi suara dari dalam diri. Ngaji mengingatkan kita bahwa ada hikmah yang tak terucap di setiap kejadian, di balik setiap penderitaan dan kebahagiaan. Ngaji adalah cara untuk tetap tenang di tengah dunia yang gaduh.
Di era digital, di mana manusia semakin jauh dari kedalaman spiritualnya, ngaji adalah napas yang membumi. Dunia mungkin menawarkan jawaban instan, tetapi ngaji mengajarkan kesabaran, kebijaksanaan, dan kerendahan hati. Dari ayat-ayat Al-Qur'an hingga lembar-lembar kehidupan, ngaji adalah jembatan yang menghubungkan kita kembali dengan Sang Pencipta, ketika semua hal di luar terasa semakin semu.
Nyantri: Menempa Karakter di Tengah Gempuran Mental Health
Pesan simbah yang kedua: "Nyantri itu bukan hanya soal belajar, tapi soal jadi manusia." Nyantri, katanya, adalah proses panjang untuk menggembleng diri—menjaga hati tetap bersih dan pikiran tetap jernih. Di dunia pesantren, para santri diajarkan bukan hanya ilmu agama, tapi juga etika, akhlak, dan kebijaksanaan hidup yang melewati batas-batas logika manusia modern.
Kini, di tengah arus zaman yang serba cepat, prinsip nyantri semakin penting. Ketika banyak orang terjebak dalam ambisi dan materi, nyantri mengingatkan kita untuk hidup dalam batas, untuk selalu berlatih sabar, rendah hati, dan peduli pada sesama. Zaman boleh berubah, tapi nilai-nilai yang diajarkan dalam nyantri tetap relevan. Menjadi manusia yang utuh tak pernah bisa digantikan oleh teknologi, tak bisa dipercepat oleh kecanggihan.
Santri adalah cermin masyarakat yang seharusnya—hidup dengan hati yang ikhlas dan niat yang tulus. Dalam setiap langkah, nyantri mengajarkan kita untuk selalu mengingat hakikat keberadaan kita, bahwa hidup ini bukan sekadar untuk diri sendiri, tapi juga untuk berbakti.
Tani: Menjaga Bumi di Tengah Kehidupan yang Menjauh dari Alam
"Tani itu bukan hanya soal mencangkul tanah," kata simbah, "tapi tentang memahami hidup." Bertani adalah cara paling jujur untuk memahami bahwa apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Dalam setiap biji yang ditanam, ada doa, ada kerja keras, ada harapan. Di tangan petani, tanah bukan sekadar sumber rezeki, tapi juga sumber kehidupan yang harus dijaga.
Di masa kini, pertanian sering dianggap sebagai sesuatu yang terbelakang, tak sebanding dengan gemerlap kota dan kecanggihan teknologi. Padahal, justru di situlah letak salah satu pilar keberlanjutan hidup kita. Ketika kita semakin jauh dari alam, tani adalah pengingat bahwa hidup sejatinya sederhana—seperti menanam padi dan menunggu hujan.
Simbah selalu bilang, "Kalau kamu lupa bertani, kamu lupa darimana kamu berasal." Di tengah krisis lingkungan dan kehancuran ekosistem, pesan ini semakin relevan. Tani bukan hanya soal tanah dan benih, tapi soal tanggung jawab kita terhadap bumi, terhadap masa depan anak cucu. Dengan bertani, kita belajar bahwa hidup ini tak bisa instan, bahwa kesabaran dan ketekunan adalah kunci. Tani mengajarkan kita untuk menjaga alam, karena di sana, ada kehidupan yang lebih besar dari sekadar kebutuhan kita hari ini.
Tiga Jalan, Satu Tujuan: Mengembalikan Kemanusiaan di Era Modern
Di akhir setiap cerita, simbah selalu menutup dengan pesan yang seolah membeku di udara, "Ngaji, Nyantri, Tani. Jalanmu mungkin panjang, tapi kalau kamu pegang tiga ini, kamu tak akan tersesat." Di tengah kemajuan zaman, modernitas sering kali mengikis moral dan nilai-nilai luhur yang dulu dijaga dengan baik. Namun pesan simbah tetap abadi—di balik kecepatan dan kesibukan dunia modern, kita selalu bisa kembali pada yang mendasar.
Ngaji, nyantri, dan tani adalah tiga jalan untuk pulang ke diri sendiri. Untuk menemukan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara diri dan alam. Semoga kita semua bisa merenungkan kembali jalan-jalan yang pernah ditempuh oleh para leluhur kita. Bahwa di balik segala kesederhanaan, ada kebijaksanaan yang tak ternilai.