Tahun 1990-an muncul film berjudul Warok Suromenggolo, diproduksi oleh PT Simbar Film dan Pemerintah Daerah Jawa Timur. Kisah film ini berpusat pada Bathara Katong yang berperang dengan Demang Surya Ngalam. Pada akhirnya Bathara Katong memenangkan pertempuran dan menunjuk anak-anak Demang Surya Ngalam sebagai pejabat di Ponorogo. Di antara pejabat yang diangkat adalah Suryo Lelono dengan gelar Suromenggolo dan Suro Handoko dengan gelar Demang Kutuk. Dua orang ini adalah saudara dan satu perguruan yang terlibat aktif membantu pemerintahan Bathara Katong di Ponorogo.
Demang Kutuk memiliki seorang anak perempuan bernama Suminten. Suminten ternyata menyukai R.M. Subroto, cucu dari Bathara Katong. Namun apa yang terjadi? Ternyata R.M. Subroto memilih anak perempuan Suro Menggolo sebagai calon istrinya. Di sinilah kemudian terjadi keributan antara Suro Menggolo dan Demang Kutuk akibat perebutan menantu dan persoalan lainnya.
Lalu apa yang terjadi dengan Suminten? Karena gagal menikah dengan R.M. Subroto, Suminten mengalami gangguan jiwa. Cerita gangguan jiwa ini merupakan salah satu cerita dalam masyarakat Jawa yang dikenal dengan judul Suminten Edan. Tingkah laku Suminten dalam film tersebut digambarkan: setelah gagal menikah, ia sering pergi dari rumah tanpa tujuan jelas sambil memeluk bantal, sering menangis, dan membayangkan bersama R.M. Subroto.
Subandi, dalam pidato pengukuhan guru besar psikologi UGM tahun 2015, menyatakan bahwa gagal menikah dengan seseorang bisa menjadi salah satu penyebab individu mengalami masalah kesehatan jiwa. Tentu saja hal ini tidak hanya berlaku pada kasus Suminten, tetapi juga pada beberapa kasus yang ditemukan dalam penelitian lainnya.
Pada masa lalu, masalah kejiwaan dilihat dalam perspektif medik organik, artinya masalah kejiwaan disebabkan oleh gangguan fisik pada individu. Pendapat medik organik ini kemudian berkembang, sehingga para ahli memunculkan pendekatan psikologis yang diinisiasi oleh Freud. Pandangan Sigmund Freud ini kemudian dikenal sebagai teori psikoanalisis. Psikoanalisis inilah yang menjadi tonggak awal melihat masalah kesehatan jiwa individu dalam perspektif psikologis.
Di masa sekarang, cara pandang terhadap kesehatan jiwa mulai melihat faktor budaya sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari munculnya masalah kesehatan jiwa pada individu. Gerakan yang melihat budaya sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi kesehatan jiwa dimulai sejak tahun 1970 dan telah menjadi acuan bagi para ilmuwan dan praktisi kesehatan jiwa di seluruh dunia.
Sebagai contoh, pengaruh budaya terhadap kesehatan jiwa individu terlihat dalam penelitian Subandi yang menemukan fakta bahwa tingkah laku isin dan ngemong dalam budaya Jawa memiliki peranan penting dalam proses kesembuhan individu dari gangguan jiwa. Selain itu, adanya masalah ketakutan yang berlebihan bahwa seseorang mungkin membuat malu atau menyinggung orang lain dalam masyarakat Jepang—yang disebut Taijin Kyofushō—disebabkan oleh adanya tekanan budaya yang sangat menekankan sopan santun dan menghindari membuat malu orang lain.
Kasus yang dialami Suminten juga menunjukkan peran orang tua yang dominan dalam mencampuri urusan anak sebagai salah satu penyebab anak mengalami masalah kesehatan jiwa. Teori yang berkembang, yang disebut Expressed Emotion (EE), mengungkapkan setidaknya ada tiga dimensi EE dalam keluarga yang berdampak negatif pada kejiwaan individu. Tiga dimensi tersebut meliputi: 1) banyak mengkritik, 2) menunjukkan permusuhan atau kebencian, dan 3) terlalu banyak mencampuri urusan (overinvolvement). Orang tua yang sering mencampuri kehidupan anak dapat menjadikan anak rentan mengalami gangguan jiwa.
Seperti kasus Suminten di atas, ketika orang tua mencampuri urusan jodoh anaknya dan berusaha keras mewujudkan kehendak mereka, anak menjadi tidak memiliki alternatif atau cara pandang lain dalam mencari pasangan hidup.
Dalam kasus Suminten, proses pemulihan individu terjadi karena pada akhirnya ia menikah dengan R.M. Handoko. Apa yang dicita-citakan Suminten dapat tercapai, dan hal itu menjadi salah satu faktor yang membuatnya kembali sehat. Tercapainya sebuah tujuan menjadi salah satu aspek prediktor kesehatan jiwa bagi individu. Wagnild dan Young, dalam penelitian tentang daya lentur (resilience) individu, memasukkan aspek tujuan sebagai prediktor kemampuan individu bangkit ketika menghadapi masalah.
Menurut Wagnild dan Young, setidaknya ada lima dimensi yang membantu individu bangkit saat menghadapi masalah, yaitu: meaningfulness (kehidupan yang bermakna), perseverance (ketekunan), equanimity (keseimbangan emosi), self-reliance (kemandirian), dan existential aloneness (kesadaran eksistensial tentang keunikan perjalanan hidup). Meaningfulness merupakan kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut; perseverance merupakan sikap individu yang dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan hidup; equanimity merupakan perspektif tentang keseimbangan dalam menjalani kehidupan; self-reliance merupakan keyakinan pada diri sendiri dan kapasitas diri; dan existential aloneness merupakan kesadaran bahwa perjalanan hidup setiap individu itu unik.
Pandangan Wagnild dan Young memberi gambaran bahwa saat individu memiliki tujuan dan tujuan tersebut tercapai, maka individu akan mampu bertahan dan bangkit saat menghadapi masalah. Masalah yang dialami Suminten adalah masalah cinta; ketika cinta itu didapatkannya, ia kembali sehat, baik secara fisik maupun mental.
Lalu bagaimana dengan dirimu? Apakah tujuan cintamu juga sudah tercapai?