Di tengah hiruk pikuk peringatan Hari Kemerdekaan, kita sering membicarakan para pendiri bangsa, pahlawan nasional, atau simbol-simbol perjuangan yang telah kita kenal sejak SD. Namun, dalam khazanah budaya kita, kisah pengorbanan demi bangsa tidak hanya lahir dari arsip sejarah, melainkan juga dari panggung mitologi.
Salah satu yang jarang disebut adalah kisah Abimanyu, ksatria muda dari epos Mahabharata, yang dalam lakon wayang menjadi simbol pengorbanan religius yang membentuk model nasionalisme yang mendalam.
Abimanyu, putra Arjuna, adalah sosok yang masuk ke medan perang Bharatayuda dengan kesadaran penuh bahwa ia akan gugur. Dalam kecamuk perang itu, ia diminta memecahkan formasi “Cakra Byuha” yang mematikan.
Ia tahu ia hanya bisa menembus, tetapi tidak keluar. Meski demikian, ia maju tanpa ragu, bukan karena ambisi pribadi, tetapi demi mempertahankan dharma, kebenaran kosmis yang diyakini sebagai fondasi tatanan dunia.
Harmoni Jagat
Di sinilah menariknya Abimanyu sebagai figur. Ia mempertemukan dua hal yang sering kita pisah dan bedakan, yaitu religiositas dan nasionalisme. Baginya, perang bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan kewajiban spiritual untuk menjaga harmoni jagat. Dalam bahasa Émile Durkheim, pengorbanan semacam ini mengandung unsur “sacred act” sebagai tindakan yang memiliki makna suci karena dilakukan untuk melestarikan kehidupan kolektif.
Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) berpendapat bahwa masyarakat membangun “yang sakral” sebagai simbol diri kolektifnya. Ketika Abimanyu mengorbankan hidupnya, ia bukan hanya membela keluarganya, melainkan juga membela tatanan sosial yang ia yakini suci. Di titik inilah nasionalisme menemukan dimensi religiusnya yaitu negara atau tanah air menjadi sacred entity, bukan sekadar struktur politik.
Mircea Eliade, dalam The Sacred and the Profane (1957), menjelaskan bahwa tindakan pengorbanan seringkali memulihkan kosmos dari kekacauan. Bharatayuda dalam dunia wayang bukan semata konflik politik, tetapi pertempuran antara keteraturan (dharma) dan kekacauan (adharma).
Abimanyu memilih mati bukan karena kalah strategi, tetapi karena memahami bahwa kematiannya adalah bagian dari ritus pemulihan kosmos. Dalam perspektif ini, ia bukan sekadar prajurit, tetapi pelaku liturgi perang yang mengubah medan laga menjadi altar pengorbanan.
Bila kita tarik ke konteks Indonesia, pengorbanan seperti ini mengingatkan pada para pemuda yang gugur di masa kemerdekaan, atau bahkan mereka yang di era kini tetap teguh membela kebenaran meski menghadapi risiko sosial dan politik. Di sini, Abimanyu memberi kita model nasionalisme yang bukan lahir dari hasutan kebencian pada musuh, melainkan dari cinta yang religius terhadap kehidupan bersama.
Robert Bellah, dalam konsep civil religion (1967), menguraikan bagaimana masyarakat modern memiliki “agama sipil” yang memadukan simbol-simbol politik dan nilai-nilai religius. Upacara bendera, penghormatan kepada pahlawan, atau narasi pengorbanan dalam sejarah adalah bagian dari agama sipil ini. Abimanyu bisa kita lihat sebagai arketipe dalam agama sipil Indonesia: tokoh yang mengorbankan diri demi entitas bersama yang dianggap suci—tanah air sebagai perwujudan dharma.
Demi Prinsip
Yang menarik, pengorbanan Abimanyu bukan pengorbanan membuta. Ia tidak mati demi penguasa, melainkan demi prinsip. Ini relevan dengan kritik terhadap nasionalisme yang hanya berbentuk loyalitas tanpa kritik.
Dalam kisahnya, Abimanyu tahu bahwa strategi yang diambil adalah keputusan kolektif yang penuh risiko, namun ia tetap memilih maju karena itu satu-satunya jalan mempertahankan moralitas perang. Ia setia kepada misi, bukan kepada individu yang memerintah.
Di sinilah bedanya pengorbanan religius yang sejati dan pengorbanan politik yang manipulatif. Pengorbanan sejati lahir dari kesadaran, bukan paksaan. Ia memerlukan kebebasan memilih, sebagaimana Abimanyu memilih medan perang meski pintu keluarnya tertutup.
Dalam bahasa filsafat eksistensialis Albert Camus dalam esainya "Sang Pemberontak" (L'Homme révolté), yang diterbitkan pada tahun 1951, ini adalah bentuk “pemberontakan setia” yaitu menerima absurditas situasi, namun tetap memilih bertindak demi nilai yang diyakini.
Lakon Abimanyu juga memberi pesan tentang peran generasi muda. Dalam wayang, ia masih belia, tetapi sudah memanggul tanggung jawab besar. Ini sejalan dengan fakta sejarah Indonesia, di mana Sumpah Pemuda 1928, Perang 10 November 1945, hingga gerakan reformasi 1998, selalu dipicu oleh keberanian anak muda yang memadukan idealisme dan pengorbanan.
Namun, keberanian itu menjadi rapuh jika dipisahkan dari landasan nilai yang kokoh. Tanpa “dharma” yang jelas, pengorbanan bisa berubah menjadi sekadar kehancuran sia-sia.
Sementara saat ini, kita hidup di zaman di mana nasionalisme mudah tergelincir menjadi slogan belaka. Ia sering dipakai untuk membungkam kritik, bukan membangun kebersamaan.
Di sini, Abimanyu mengingatkan bahwa nasionalisme yang sejati adalah yang memuliakan kehidupan bersama, bukan sekadar mempertahankan simbol-simbol negara. Dalam bahasa Bellah, agama sipil hanya sehat bila simbol-simbolnya mengarahkan kita pada nilai universal, bukan pada kultus individu atau kelompok.
Bukan Dua Kutub Terpisah
Maka, saat kita memperingati kemerdekaan, pertanyaannya adalah nasionalisme seperti apa yang kita wariskan? Apakah nasionalisme yang hanya mengagungkan bendera dan lagu, atau nasionalisme yang berani mengorbankan kenyamanan demi membela prinsip? Abimanyu memberi kita jawabannya: ia pilih yang kedua, meski itu berarti menghadapi Cakra Byuha zaman ini, yang entah itu berupa korupsi, ketidakadilan, atau krisis moral.
Pengorbanan Abimanyu adalah pelajaran bahwa religiositas dan nasionalisme bukan dua kutub yang terpisah. Justru, dalam bentuk yang paling mulia, keduanya menyatu. Nasionalisme yang religius bukan berarti negara menjadi teokratis, melainkan bahwa komitmen pada bangsa berakar pada kesadaran suci akan martabat manusia dan tatanan bersama.
Akhirnya, Abimanyu tidak mati sia-sia. Dalam narasi wayang, kematiannya menjadi titik balik perang Bharatayuda. Ia menjadi teladan bagi Pandawa untuk menuntaskan perang dengan teguh. Demikian pula di dunia nyata, pengorbanan yang berlandaskan nilai akan selalu melampaui dirinya sendiri, menginspirasi generasi berikutnya.
Mungkin kita tidak dipanggil untuk mati di medan perang seperti Abimanyu. Tapi setiap zaman memiliki “Cakra Byuha”-nya sendiri. Dan mungkin, menjadi warga negara yang berani berkata benar, menjaga integritas di tengah arus korupsi, atau membela yang lemah, adalah bentuk pengorbanan yang hari ini sama sucinya dengan langkah Abimanyu di medan laga.