September, pada satu sisi, hanyalah sebuah penanda waktu. Ia adalah bulan kesembilan dalam kalender Gregorian, sederet dengan bulan-bulan lainnya. Namun dalam tradisi antropologi, waktu tidak pernah netral. Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menegaskan bahwa kalender, ritual, dan siklus musiman selalu dikaitkan dengan makna-makna sosial.
Bagi masyarakat Jawa, September dikenal dengan ungkapan “sep-septané sumber,” (kering-keringnya sumber mata air) penanda kekeringan yang mencapai puncaknya. Ungkapan itu bukan sekadar catatan klimatologis, melainkan ekspresi kultural tentang relasi manusia dengan alam di mana tubuh yang letih, tanah yang gersang, terkait dengan harapan akan datangnya hujan.
Dalam filsafat waktu, September juga menghadirkan ambivalensi. Paul Ricoeur dalam Time and Narrative (1984) menyatakan bahwa waktu manusia adalah lived time, bukan sekadar angka. September memperlihatkan bagaimana masyarakat memberi makna ganda pada waktu.
Artinya, pengalaman September tidak sama bagi semua orang. Ia bisa berarti perubahan iklim yang mengancam kehidupan, dikomodifikasi dalam bentuk diskon belanja bertema “September Ceria,” tapi juga menjadi ruang kontestasi politik ingatan.
Victor Turner dalam The Ritual Process (1969) menyebut fase liminal sebagai momen transisi yang membuka kemungkinan lahirnya makna baru. September adalah bulan liminal – antara musim kering dan hujan, antara sejarah resmi dan memori rakyat, antara tragedi dan harapan. Dengannya, waktu adalah tafsir, bukan hanya kronologi.
Paradoks
Sejarah Indonesia menorehkan September sebagai bulan yang penuh paradoks. Pada September 1960, Soekarno berpidato di Sidang Umum PBB, mengkritik tatanan dunia yang timpang dan menawarkan Pancasila sebagai alternatif. Namun lima tahun kemudian, September diingat melalui tragedi berdarah 1965 yang hingga kini masih menjadi belantara sejarah.
Michel-Rolph Trouillot dalam Silencing the Past (1995) menyebutkan bahwa sejarah selalu diproduksi melalui kekuasaan. Bahwa akan ada yang diingat dan ada juga yang disenyapkan. Dalam hal ini, September di Indonesia adalah medan pertarungan memori, sebuah “arsip hidup” yang menampung kegemilangan dan kengerian sekaligus.
Namun September bukan hanya arsip politik. Ia juga bulan penuh peringatan simbolis. Dari Hari Polwan (1 September) hingga Hari Olahraga Nasional (9 September), dari Hari Radio (11 September) hingga peringatan wafatnya Munir Said Thalib (7 September). Nama Munir membawa kita pada dimensi moral dan spiritual. Ia adalah seorang pembela HAM yang nyawanya direnggut justru ketika memperjuangkan hak orang lain.
Terkait dengannya, Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) menulis bahwa tindakan politik sejati lahir dari keberanian tampil di ruang publik. Kehadiran Munir dalam memori kolektif adalah contoh bagaimana September melahirkan etika keberanian yang melampaui kematian biologis.
Pas kiranya jika ditarik pada refleksi religiositas, September membuka ruang kontemplasi tentang kefanaan dan harapan. Charles Taylor dalam Sources of the Self (1989) menekankan bahwa manusia modern tetap mencari horizon transendensi untuk memberi makna pada waktu yang terbatas. Perubahan iklim yang terjadi di bulan ini, misalnya, tidak hanya dibaca sebagai fenomena ekologis, tetapi juga sebagai simbol kerentanan manusia.
Kerentanan inilah yang membuka ruang spiritualitas, sebagaimana Simone Weil dalam Gravity and Grace (1947) menyebut “attention to the other” sebagai inti pengalaman religius. Di cuaca September yang kerap berubah, perhatian kita dipanggil untuk menengok kenyataan tentang banjir, tanah longsor, kebakaran dan dinamika keseharian sebagai bagian dari kenyataan krisis kehidupan.
Spiritualitas Kontekstual
Konteks Indonesia hari ini menegaskan betapa September masih memanggil refleksi spiritual. Pada akhir Agustus hingga awal September 2025, kita menyaksikan gelombang demonstrasi yang berujung pada kekerasan. Seorang pengemudi ojek daring tewas dilindas kendaraan taktis, sementara aparat negara bersikap arogan terhadap rakyatnya sendiri.
Peristiwa ini mengingatkan pada logika militeristik yang dulu begitu kuat di era Orde Baru. Giorgio Agamben dalam Homo Sacer (1995) mengingatkan bahwa negara modern kerap mengklaim kedaulatan dengan menanggalkan kemanusiaan warganya. Rakyat diperlakukan sebagai “bare life,” hidup telanjang yang bisa dikorbankan.
Di sinilah refleksi spiritualitas September menemukan konteksnya. Bulan ini, dengan segala lapis sejarah dan simbolnya, mengingatkan bahwa religiositas bukan sekadar ritual formal, melainkan kemampuan menolak ancaman kemanusiaan. Etika spiritual menuntut agar kita tidak membiarkan tubuh manusia diperlakukan sebagai sekadar angka korban.
Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity (1961) menegaskan bahwa wajah orang lain memanggil kita untuk bertanggung jawab bahkan sebelum kita memilih. Dengan demikian, demonstrasi, protes, bahkan jeritan ibu-ibu di jalanan pada September ini adalah panggilan etis dan spiritual, bukan sekadar peristiwa politik.
Refleksi ini pada akhirnya mengantar pada pertanyaan apa arti September bagi spiritualitas bangsa? Ia bisa dibaca sebagai momen pengingat bahwa waktu bukan sekadar kalender, melainkan ruang etis. Bahwa sejarah bukan sekadar arsip, melainkan medan pertarungan memori yang menentukan arah moral bangsa. Dan bahwa religiositas sejati bukan sekadar doa dalam ruang ibadah, melainkan keberanian memberi perhatian pada yang rapuh, yang ditindas, yang disenyapkan.
September, dengan segala kepelikan dan maknanya, menegaskan bahwa waktu tidak pernah netral. Ia adalah ruang di mana manusia diuji – apakah memilih melupakan, atau justru mengingat; apakah tunduk pada logika kekuasaan, atau membuka ruang spiritualitas yang memberi makna pada keberadaan.
Seperti pepatah Jawa, “urip iku mung mampir ngombe,” hidup hanyalah singgah sebentar untuk minum. September adalah pengingat bahwa persinggahan ini hanya bermakna jika diisi dengan perhatian, kepedulian, dan cinta kasih pada sesama.