Tugu Jogja bukan sekadar monumen batu putih yang berdiri di pertemuan garis imajiner Laut Selatan, Keraton dan Gunung Merapi. Ia adalah artefak sejarah yang sarat makna, yang lapisan-lapisan simbolnya terus dibentuk, digeser, dan dimaknai ulang dari masa ke masa. Dalam perspektif imagology (ilmu yang mengkaji pembentukan citra tentang diri dan “yang lain” melalui teks, visual, maupun representasi budaya) Tugu Jogja dapat dibaca sebagai ruang di mana citra kota, identitas budaya, dan narasi kekuasaan saling bertarung sekaligus berkompromi.
Sejak awal berdirinya pada akhir abad ke-18, Tugu Jogja memikul misi kosmologis. Bagi Sultan Hamengkubuwono I, tugu merupakan penanda poros spiritual yang menghubungkan Keraton sebagai pusat kekuasaan dengan Merapi dan Laut Selatan sebagai representasi kekuatan alam. Poros ini bukan hanya garis geografis, melainkan kosmogram yang memadukan kepercayaan pra-Islam Jawa, simbol-simbol Islam, dan legitimasi politik kerajaan. Di sini, imagology membantu kita melihat bagaimana citra diri Yogyakarta dibangun: sebagai kota yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan; sebuah harmoni yang dikemas dalam simbol fisik, lalu diinternalisasi dalam ingatan kolektif masyarakat.
Namun sejarah tidak pernah berhenti pada satu tafsir. Gempa besar tahun 1867 meruntuhkan tugu lama. Pemerintah kolonial Belanda membangunnya kembali dengan bentuk yang berbeda: lebih pendek, tanpa ornamen Jawa yang terlalu kental, dan mengadopsi gaya arsitektur Eropa. Perubahan ini bukan semata keputusan teknis, tetapi strategi simbolik. Tugu baru menjadi penanda modernitas kolonial, sekaligus mengaburkan citra kosmologis yang melekat pada versi sebelumnya. Inilah momen penting dalam kajian imagology: perubahan bentuk fisik (deformasi) monumen adalah upaya re-branding budaya oleh kekuatan kolonial, yang memproduksi citra baru tentang Yogyakarta dari pusat spiritual Jawa menjadi bagian dari tata ruang kolonial Hindia Belanda.
Pergulatan citra ini tidak berhenti di era kolonial. Setelah kemerdekaan, Tugu Jogja kembali mengalami pergeseran makna. Ia mulai diasosiasikan dengan simbol perjuangan rakyat, landmark pariwisata, dan penanda identitas kota. Pemerintah daerah, biro iklan, hingga pelaku ekonomi kreatif menggunakan citra tugu untuk mempromosikan Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” dan “Kota Budaya.” Dalam kerangka imagology, kita melihat bagaimana representasi tugu diproduksi ulang untuk tujuan ekonomi-politik, dengan tetap meminjam aura historis dan spiritualnya agar pesan promosi terasa otentik.
Dari perspektif sinkretisme budaya, Tugu Jogja adalah titik pertemuan antara kosmologi Jawa, estetika Islam, dan intervensi kolonial. Unsur sinkretis ini memungkinkan tugu menjadi citra lentur yang dapat disesuaikan dengan berbagai kepentingan naratif. Imagology mengajarkan kita bahwa citra tidak pernah statis; ia adalah konstruksi sosial yang lahir dari interaksi antara pembuat citra (producers) dan penerima citra (receivers). Dalam konteks ini, Tugu Jogja adalah cultural text yang selalu ditulis ulang, diinterpretasi ulang, dan dikonsumsi ulang oleh publik yang berbeda-beda.
Di era digital, citra Tugu Jogja menemukan panggung baru di media sosial. Ribuan unggahan Instagram, video TikTok, dan blog wisata menempatkannya sebagai ikon yang mudah dikenali dan dipakai sebagai latar swafoto. Fenomena ini adalah bentuk self-Orientalism—konsep yang dikembangkan dalam imagology untuk menjelaskan bagaimana suatu budaya menampilkan dirinya dalam format yang sesuai dengan ekspektasi “penonton luar.” Yogyakarta, melalui tugu, menampilkan dirinya sebagai kota yang eksotis, berbudaya, dan ramah turis, sebuah citra yang sengaja dipoles demi kebutuhan pariwisata global.
Tetapi di balik kilau pariwisata, ada persoalan yang patut dikritisi. Representasi tugu yang terlalu terfokus pada romantisme visual sering kali menyingkirkan lapisan sejarah yang kompleks, termasuk narasi kolonialisme dan bentuk-bentuk perlawanan. Di sinilah imagology dapat berfungsi sebagai metode kritis: membongkar lapisan-lapisan representasi yang sengaja dibuat untuk membentuk persepsi publik, sambil mempertanyakan siapa yang diuntungkan dari konstruksi citra tersebut.
Jika kita membaca Tugu Jogja hanya sebagai monumen estetis, kita kehilangan peluang untuk memahami bagaimana ia bekerja sebagai mesin citra yang membentuk persepsi tentang Yogyakarta. Imagology memungkinkan kita untuk melihat hubungan antara bentuk fisik, narasi sejarah, dan strategi representasi. Ia membantu kita memahami mengapa tugu bisa memuat makna kosmologis di satu era, menjadi simbol kolonial di era lain, lalu bertransformasi menjadi ikon pariwisata di masa kini.
Dengan demikian, Tugu Jogja adalah contoh sempurna dari bagaimana sebuah objek material dapat memuat pergulatan citra yang panjang, melibatkan pergeseran makna, dan mencerminkan tarik-menarik kekuasaan budaya. Melalui analisis imagology, kita tidak hanya memotret tugu sebagai benda mati, tetapi sebagai teks hidup yang merekam, memproduksi, dan memproyeksikan identitas Yogyakarta kepada dunia. Ia adalah saksi bisu yang justru berbicara lantang, jika kita tahu cara mendengarkan bahasanya.