Hiruk pikuk dunia modern menjadikan orang makin jenuh menghadapi realitas, hopeless, dan akhirnya mencari ketenangan.
Di Barat, perhatian terhadap dunia tasawuf kini mengalami kebangkitan. Mereka merasa terpisah dari ‘sistem nilai’ dunia modern yang lebih-kurang homogen; rasa tak aman menghadapi masa depan; kurang dipahaminya pesan-pesan agama-agama terdahulu yang dianut di Barat khususnya agama Kristen, yang kandungan ajarannya semakin tak terhayati; kerinduan menyaksikan pengalaman kerohanian di dalam suatu lingkungan yang semakin merosot kualitasnya, dan banyak lagi faktor-faktor lain yang semuanya membantu timbulnya keinginan menyelami ajaran-ajaran kerohanian dari agama-agama Timur.
Pencarian ini di Barat dimulai satu generasi yang lalu di mana perhatian pada umumnya lebih ditujukan pada Hinduisme dan Buddhisme; namun oleh karena terlalu banyak apa yang ditulis dan juga dilaksanakan dalam praktek pada masa ini maka terjadilah pemalsuan atau pendangkalan terhadap tradisi-tradisi ini––lebih khusus lagi dalam mempelajari Vedanta dan Zen–yang segera berkembang menjadi kegemaran sementara yang cepat membosankan dan meletihkan bagi satu generasi yang terus mencari sampai sekarang dan selalu merubah pengalamannya tanpa penghayatan yang mendalam terhadap salah satu di antaranya.
Karena banyaknya daya tarik yang ditimbulkannya kini perhatian beralih kepada Tasawuf, yang sayang sekali nampak-nampaknya hampir saja terselewengkan dan terkebiri sesuai dengan mentalitas mereka yang innosen, namun juga keliru dalam memandang sifat-sifat nyata suatu jalan kerohanian, atau memang bermaksud mengebiri kebenaran-kebenaran yang paling sublim itu sesuai dengan sifat-sifat mereka sendiri yang picik.
Namun bersamaan dengan makin semaraknya perhatian terhadap Tasawuf ini dapatlah dibedakan secara mendasar dan sungguh-sungguh antara keterpikatan mereka yang ingin mengambil manfaat dari wawasannya demi kehidupan rohani mereka, apapun agama atau jalan kerohanian yang mereka anut, dan mereka yang mencari suatu jalan kerohanian yang sejati untuk diikuti dan ingin mengabdi sungguh-sungguh, agar memenuhi syarat dalam mengikuti jalan kerohanian tersebut.
Di kalangan terpelajar Islam di Barat dapat dilihat tumbuhnya realisasi peranan sentral yang dimainkan Tasawuf di dalam Islam dan sejarah Islam. Banyak di antara mereka sekarang ini mau mengakui sumber keislaman dari Tasawuf dan adanya mata rantai yang tak bisa diputuskan yang menghubungkan Tasawuf dengan Islam, lebih daripada menganut praktek lama yang menerangkan Tasawuf sebagai suatu gerakan di dalam Islam yang dipengaruhi unsur-unsur luar. Seseorang sukar untuk dapat menulis spiritulitas Islam dewasa ini tanpa penjelasan tentang Tasawuf, walaupun orientalis-orientalis tertentu selalu berusaha melakukan demikian.
Apakah ia lalu menjadi kegemaran spiritual yang benar, ataukah menjadi pseudo-spiritualitas seperti yang demikian lazim di Barat dewasa ini, atau menjadi kegiatan akademis di bidang pengkajian Islam, orang bisa melihat betapa semaraknya perkembangan Tasawuf dan perhatian yang diberikan dalam pengkajian-pengkajian terhadapnya di Barat. Tulisan-tulisan yang otentik tentang Tasawuf di media modern Barat sangat jarang, sementara mereka yang merindukan ajaran-ajarannya cukup banyak. Adanya situasi ini dengan sendirinya menjadi dasar yang menyakinkan untuk mengadakan upaya-upaya yang mungkin dalam menghindarkan penyelewengan terhadap ajaran-ajaran Tasawuf dan menampilkan segala segi ajarannya yang berbeda-beda di dalam bentuk yang otentik. Hikmah sufi menyingkap hampir setiap bagian kehidupan rohani dan menyajikan satu tradisi metafisik dan esoterik yang paling lengkap dan terpelihara dengan baik yang mampu bertahan dalam dunia modern.
Dalam abad ke 19 dunia Islam diharu biru oleh dampak Barat bersamaan dengan timbulnya gerakan-gerakan puritan seperti gerakan-gerakan rasionalis dan anti-mistik. Gerakan-gerakan itu timbul menentang Tasawuf, yang dikutuk hampir dalam segala segi yang oleh beberapa kalangan modernis pada waktu itu dirasakan menyimpang dari Islam. Persoalan jatuhnya dunia kaum Muslimin ke tangan penguasa Barat sering kesalahannya dialamatkan kepada Tasawuf, dan dari situ muncullah suatu generasi orang-orang Islam yang kebarat-baratan, yang masih kita jumpai di banyak negeri Islam dewasa ini, yang memandang bahwa pengkajian yang benar-benar terhadap Tasawuf merupakan suatu konspirasi kolonialis. Ditunjang oleh kegiatan para orientalis, gerakan ini berupaya menghidupkan kembali Islam dengan menolak segala aspek kerohanian dan metafisik ajaran-ajarannya, mengebirinya dengan tafsir yang sepicik-piciknya tentang syariah. Sebagai akibatnya maka syariah sendiri menjadi tak berdaya menghadapi serangan intelektual Barat.
Peranan positif yang dimainkan Tasawuf dalam sejarah Islam di bidang-bidang mulai dari pemerintahan sampai seni – kemudian dilupakan dan dihapus. Cukup ganjil orang barat memandang periode modern sejarah Islam dimana mereka tetap tak mengacuhkan semua gerakan-gerakan pembaharuan yang penting di dalam Tasawuf sendiri semenjak abad ke-9, walaupun pengaruh gerakan-gerakan ini tak kurang besarnya dibanding gerakan-gerakan modernis yang berorientasi ke Barat yang demikian ditonjolkan dalam studi-studi kontemporer Eropa. Dengan perkecualian tarekat Sanusiyyah, praktis tak ada penting disebut-sebut mengenai gerakan-gerakan kebangkitan Sufi yang amat penting seperti Diarqawiyyah dan Tijaniyyah di Afrika Utara, tarekat Yashrutiyyah di Afrika Timur dan Arab Timur, tarekat Nikmatullahi di Persia dan India Selatan, tarekat Chishtiyyah dan Qadiriyah di anak benua India – Pakistan. Penyepelean ini membantu memperkecil arti Tasawuf di mata kelompok terpelajar Muslim modern, yang sering sangat tergantung pada sumber-sumber Barat dalam menulis sejarah mereka sendiri.
Dengan demikian maka sampai akhir Perang Dunia II kita selalu hampir menjumpai dua golongan mahasiswa di berbagai universitas di negeri-negeri yang kaum musliminnya mengalami modernisasi: mereka yang sepenuhnya sekuler dan kebarat-baratan dan kurang-lebih menolak Islam, setidak-tidaknya sebagai kode dan cara hidup yang lengkap; dan mereka yang merupakan orang Islam yang patuh dan yakin namun membatasi Islam pada penafsiran syariah dan keseluruhan dimensi intelektual dan kerohanian Islam. Walaupun dua golongan ini bertentangan satu sama lain hampir dalam segala hal, mereka bersatu dalam menentang Tasawuf.
Dewasa ini, sementara sikap kedua golongan ini serupa dalam banyak hal, suatu pertanda munculnya pengertian baru terhadap Tasawuf dan seluruh dimensi intelektual Islam terlihat di kalangan mahasiswa dan anggota-anggota kelompok terpelajar di banyak negeri-negeri Islam. Disintegrasi nilai-nilai budaya Barat dan kekecewaan yang dirasakan sebagai akibat dari modernisme, ancaman malapetaka yang dibawa oleh peradaban modern dan firasat akan makin dekatnya malapetaka itu, dan bukti bahwa tantangan-tantangan dan ancaman-ancaman yang dihadapkan kepada Islam oleh Barat di bidang intelektual tak terjawab kecuali melalui petunjuk yang diberikan oleh ajaran-ajaran Tasawuf, telah berjasa dalam melahirkan perubahan sikap ini. Dibanding dengan generasi-generasi yang lebih tua dewasa ini kita lihat munculnya sejumlah anak muda yang tertarik pada tarekat-tarekat Sufi dan tertarik untuk mempelajari Tasawuf di berbagai negeri seperti Mesir, Syria dan Persia.
Di anak benua India-Pakistan perhatian tersebut semakin kuat, yang sebelumnya telah merupakan kebiasaan yang menarik yang tak pernah mengendor sebagaimana terjadi di dunia Arab dan Turki. Di Turki perhatian terhadap karangan-karangan para Sufi semakin meningkat di kalangan mahasiswa-mahasiswa universitas pada tahun-tahun setelah revolusi Turki.
Anehnya keterangan-keterangan yang benar tentang Tasawuf sangat jarang disalin untuk kalangan terpelajar di dunia Islam. Mengenai sikap terhadap Tasawuf, sebagaimana terhadap Islam sendiri, orang dewasa ini bisa membedakan tiga kelompok elitenya dalam tingkatan yang berbeda terdiri dari ‘ulama’ dan guru-guru Sufi dan ahli-ahli yang pandai, yang dapat memahami keterangan-keterangan tradisional ajaran Islam baik dalam tingkat syariat maupun tingkat Sufi; kemudian kelompok minoritas yang kebarat-baratan, yang sampai sekarang dalam banyak hal memperlihatkan memiliki perhatian kecil terhadap Tasawuf; dan akhirnya minoritas terpelajar modern baru yang sekali lagi memperlihatkan perhatian terhadap kekayaan rohani dan intelektual Islam.
Sejumlah besar buku-buku yang berisi teks-teks Sufi muncul setiap tahun, sebagian besar dalam bahasa Arab dan Persia, selain juga dalam bahasa-bahasa Turki, Urdu, Bengali dan bahasa-bahasa Islam yang lain. Tapi selain puisi-puisi Sufi tokoh-tokoh seperti Ibn Farid, Jalaluddin Rumi dan Hafiz, yang terjangkau dan terapresiasi oleh semua orang, karya-karya Tasawuf yang doktrinal sifatnya dan berisi saran-saran intelektual tentang Tasawuf semata-mata ditujukan kepada kalangan kecil yang mengerti dan tak sepenuhnya terpahami kecuali oleh intelektual elite (khawass) dari lapisan tradisional.
Orang kagum akan banyaknya kaum terdidik modern Arab. Turki dan Persia yang memahami secara respektif teks-teks seperti Fusus al-Hikam oleh Ibn ‘Arabi, Manakib al-Arifin oleh al-Aflaki atau Sharh-i gulshan-i raz oleh Lahiji, yang telah diterbitkan di Mesir. Turki dan Persia sejak beberapa tahun yang lalu. Namun ketika semua ‘isme’ dari Barat datang membanjir seperti bah, misalnya evolusionisme, Marxisme, sosialisme dan lain-lain, dan menggenangi tanah dunia Islam, berapa banyakkah diantara lapisan terpelajar Islam yang dapat menggali khazanah metafisika, filsafat dan Tasawuf Islam yang demikian kaya itu untuk menjaga diri dan menghindar agar tidak tenggelam?
Beberapa mempunyai kontak dengan guru-guru Sufi yang masih hidup, dari siapa mereka menarik pelajaran. Sebagian terbesar tetap kebingungan dan tak memiliki kesempatan memperoleh keterangan apapun kecuali selain dari sejumlah kecil buku yang ditulis oleh para ahli dan teman-temannya setanah air, yang biasanya hanya mengekor para orientalis Barat. Keterangan-keterangan yang benar pada masa kini dan tafsir yang mendalam tentang Tasawuf di dalam bahasa-bahasa kaum Muslimin mungkin dapat dihitung dengan jari tangan, dan dengan demikian hanya sedikit karya yang kita jumpai dalam memenuhi perhatian yang baru timbul di kalangan kaum terdidik ini terhadap Tasawuf.
Lebih dari itu, banyak orang Islam sekarang ini belajar di Barat dan cukup mengherankan karena merasa lebih akrab dengan bahasa Inggris atau Perancis dibanding bahasa ibu mereka bilamana mereka membicarakan masalah-masalah intelektual. Juga di negeri-negeri Islam, seperti Malaysia, Pakistan, Nigeria dan negeri- negeri Islam Afrika Utara, bahasa Inggris dan Perancis masih merupakan alat percakapan intelektual yang lebih penting dibanding bahasa Melayu, Urdu, dan Bengali, serta bahasa Nigeria atau Arab. Dalam hal ini, keterangan-keterangan tentang Tasawuf dalam bahasa-bahasa Eropalah yang membantu sebagai sumber perantara dalam memenuhi rasa dahaga yang kian bertambah akan pengetahuan dalam bidang ini.
Kecenderungan di dua belahan dunia kita, Islam dan Barat, dengan begitu tampaknya bertemu dengan kebutuhan akan pengkajian-pengkajian yang otentik mengenai Tasawuf. Dengan alasan yang berbeda-beda baik kaum cerdik-cendikia Islam maupun kaum cerdik-pandai muda Barat, sebagaimana kalangan dari kelompok usia yang lain, semakin menaruh perhatian kepada Tasawuf, beberapa sebagai kegemaran sementara, yang lain dengan penghayatan yang dangkal, dan yang lain lagi dengan alasan yang mendalam, yaitu untuk membentengi perjuangan batinnya agar tak terjerumus ke dalam jurang kekosongan. Namun, pengkajian-pengkajian yang berhasil dalam menyingkap hakiki Tasawuf dengan cara yang otentik sangat jarang bisa dilakukan, sehingga masyarakat yang sifatnya baik, dengan membaca karya-karya yang palsu, sering terjerumus ke dalam jurang kehidupan hina yang mengerikan, bukannya terbimbing kearah kemuliaan yang mereka cari.
Dewasa ini di Barat orang dapat membedakan tiga jenis tulisan tentang Tasawuf. Termasuk di dalamnya karya para orientalis yang bersifat akademis mulai dari yang berisi kecaman yang merendahkan dan penuh prasangka sampai dengan pengkajian-pengkajian yang simpatik dan menukik karya tokoh-tokoh seperti L. Massignon, H. Corbin, E. Dermenghem, L. Gardet, C. Rice, F. Meier dan P. Filipanni Ronconi, yang dalam beberapa hal terbatas partisipasi nyata dalam kehidupan Tasawuf, termasuk juga terjemahan-terjemahan gemilang dari tokoh-tokoh seperti B. De Sacy, R.A. Nicholson dan A.J. Arberry.
Ada juga karya-karya yang penulisnya mengaku punya hubungan dengan beberapa gerakan Sufi mutakhir di Barat, karya-karya yang sering berisi banyak ajaran-ajaran murni para pendiri gerakan itu namun telah dicampur aduk dengan berbagai ragam masalah dari luar. Membaca buku-buku ini bagaikan menyaring gandum dari dedak yang mustahil berhasil, khususnya bagi pemula. Karya-karya seperti itu kemudian diberi corak okultis dan menjadi sangat jauh dari Islam seperti terlihat pada buku-buku yang bermunculan dikalangan tertentu di Eropa Barat, khususnya di Inggris. Terakhir, penjelasan-penjelasan yang benar-benar otentik tentang Tasawuf yang bersumber dari ajaran-ajaran yang murni, seperti karya-karya R. Guenon, M. Lings, J.L. Michon, L. Schaya dan khususnya karya-karya F. Schuon dan T. Burckhardt; jumlah karya-karya seperti itu sedikit namun mempunyai arti yang besar bagi pemahaman yang otentik terhadap Tasawuf.
Beberapa karya para guru Sufi masakini yang murni dari dunia Islam juga muncul dalam bahasa Inggris atau Perancis, namun biasanya di dalam bentuk yang kurang menimbulkan minat. Orang yang telah mengetahui prinsip-prinsip Tasawuf dapat memakai dokumentasi, penjelasan dan terjemahan karya-karya dari kelompok pertama, dan juga beberapa wejangan, kisah dan pembicaraan-pembicaraan tertentu dari buku-buku dalam kelompok yang kedua. Namun untuk itu ia harus memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang memadai tentang ajaran-ajaran metafisika yang hanya bisa dipenuhi oleh karya-karya dari kelompok yang ketiga atau melalui kontak langsung dengan sumber-sumber Tasawuf yang otentik.
Oleh karenanya adalah sangat perlu meningkatkan jumlah karya-karya yang otentik tentang Tasawuf. Dan ini harus dilakukan tidak melulu dengan tujuan mencapai jumlah yang besar, namun juga dengan tujuan untuk menunjukkan bukti betapa bermacam-macamnya kunci yang diperlukan oleh para pencari jalan yang berbeda-beda jenisnya dan untuk memberikan penjelasan dengan ungkapan masakini yang setidak-tidaknya sesuai dengan kandungan ajaran-ajaran Tasawuf tradisional yang luas cakupannya.
Tugas memberi penjelasan ini harus dilakukan baik untuk khalayak Barat, yang biasanya akan memperoleh faedah yang besar dari keterangan yang ditulis dalam bahasa Eropa, dan juga bagi orang-orang Islam yang terdidik secara Barat dimana dalam banyak hal bahasa Eropalah yang merupakan alat untuk menerima ide-ide. Adalah bagi kedua kalangan inilah esai-esai yang sederhana ini disajikan bersama-sama dalam bentuk sebuah buku, dengan harapan dapat memberikan sumbangan kecil bagi sekumpulan keterangan tentang Tasawuf dari sudut pandang seorang Sufi.
Di dalam kitab suci Al-Qur’an Tuhan menerangkan Diri-Nya sebagai Yang Lahir (al-zahir) dan Yang Batin (al-batin). Oleh karena itu dunia ini dan seluruh isinya merupakan pancaran dan alamat dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan, maka semua realitas dari dunia ini juga memiliki aspek lahir dan batin. Tampang lahir benda-benda bukanlah suatu khayalan; ia memiliki realitas menurut tingkatannya. Selain itu realitas benda-benda itu mengandung gerak menjauh dan memisah dari Prinsip yang terletak di Pusat, yang bisa disamakan dengan Yang Batin. Hidup secara lahir berarti memperoleh karunia eksistensi (keberadaan), dengan demikian ia berarti dan tak sia-sia.
Namun berpuas diri semata-mata dengan yang lahir merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia yang sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberdaannya adalah untuk melakukan perjalanan dari yang lahir ke arah yang batin, dari kisaran lingkaran keberadaannya menuju Pusat Yang Transenden dan dengan melakukan perjalanan demikian maka berarti memulangkan kembali penciptaan kepada sumbernya.
Tasawuf memberikan tujuan dalam memenuhi cita-cita yang luhur ini. Tuhan telah membuka mungkinnya perjalanan dari yang lahir menuju ke yang batin melalui wahyu, yang dengan sendirinya mencangkup baik dimensi lahir maupun dimensi batin. Di dalam Islam dimensi batin atau esoterik dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan Tasawuf, walaupun, didalam konteks aliran Syi’ah, esoterisisme Islam juga mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk yang lain. Lebih jauh lagi; dari sudut pandang Islam segala sesuatu yang berhubungan dengan Tasawuf hidup di dalam wahyu atau tradisi yang padu sesuai dengan kodrat benda-benda. Itulah sebabnya mengapa di dalam bahasa-bahasa Islam orang sering menerangkan tentang Tasawuf agama ini atau itu, karena dari sudut pandang Islam, tasawwuf, seperti al-din atau al-Islam dalam pengertiannya yang universal, adalah abadi dan sekaligus universal.
Namun bagaiamana pun juga ini tidak berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan Tasawuf di luar kerangka Islam––dalam konteks apapun kita menggunakan istilah ini. Jika yang kita maksud adalah al-Islam sebagai agama dalam pengertian yang universal, maka jenis esoterisisme (tasawwuf, untuk menggunakan istilah Sufi sendiri) yang dilaksanakan itu harus bertalian dengan agama tertentu atau ‘islam ’ dari mana ia timbul. Dan jika yang kita maksud dengan al-Islam sebagai agama yang diwahyukan melalui Al-Qur’an Suci, maka begitu pula tasawwuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu Al-Qur’an dan yang kita sebut ‘Tasawuf’ dalam pengertian yang telah diterima umum. Dalam segala hal suatu jalan esoterik yang benar tak terpisahkan dari kerangka tujuan wahyu ke dalam mana ia termasuk.
Seseorang tidak dapat melakukan esoterisisme Buddhis dalam konteks syariah Islam atau sebaliknya. Lebih jauh lagi, seseorang tidak dapat dalam keadaan bagaimanapun mengaku menganut ajaran esoterik agama dan dan mempraktekkan suatu esoterisisme tanpa berdasar sesuatu agama dan didalam kekosongan, seperti halnya tidak bisa menanam pohon di tengah-tengah udara. Seseorang bisa melakukan perjalanan menuju Tuhan hanya sebagai sebagian ummat atau perkumpulan mistik’ untuk menggunakan istilah theologi Kristen, yang didirikan dan disucikan melalui wahyu oleh Tuhan yang sampai kepada manusia atas Kehendak-Nya.
Islam mengajarkan agar semua orang yang masuk Surga berbuat sebagai sebagian dari umat Nabi tertentu yang mengajarkan kebenaran yang sama. Mengikuti Tasawuf adalah mematikan nafsu kedirian secara berangsur-angsur dan menjadi Diri yang sebenarnya, supaya memperoleh kelahiran baru dan selalu menyadari keadaan seseorang yang berasal dari keabadian (azal) namun tak pernah melaksanakan hal itu sebelum terjadi perubahan pada dirinya. Itu berarti seseorang harus membuang jauh-jauh tabiat jeleknya sebagaimana ular melepaskan – kulitnya.
Perubahan yang demikian mencakup peralihan dasar-dasar kejiwaannya secara mendalam melalui pengaruh gaib dari Kehadiran Tuhan (hudur) yang tertanam di kalbu melalui pentahbisan yang dilakukan seorang guru rohani dan yang berhasil karena adanya barakah yang mengalir dari sumber wahyu sendiri. Agar supaya perubahan itu terjadi seseorang harus memiliki rantai penghubung tradisional dengan asal-usulnya atau rantai kerohanian (silsilah), memiliki disiplin atau methode untuk melatih jiwa, memiliki seorang guru yang bisa menggunakan methode itu dan yang dapat memberi petunjuk (irsyad) kepada seorang murid melalui tahapan-tahapan perjalanan dan terakhir memiliki pengetahuan tentang tatanan doktrinal sifat benda-benda yang akan memberinya arah sehingga berkemampuan selama melakukan perjalanan rohani (sayr wa suluk). Dan tentu saja harus ada pentahbisan formal (bay’ah) sebagai suatu yang diperlukan untuk mendekatkan murid dengan guru dan untuk mendekatkan silsilahnya dengan tatanan tertinggi. Inilah aspek-aspek dasar dari Tasawuf.
Untuk menjelaskan ajaran Tasawuf yang sepenuhnya seseorang setidak-tidaknya harus memberikan garis besar doktrin Sufi, yang mencakup metafisika tentang prinsip dan kodrat benda-benda, kosmologi mengenai susunan Alam semesta dan tingkatan wujud yang berbagai-bagai, psikologi tentang susunan kejiwaan manusia yang mendekati sebuah psikotherapi yang sangat mendalam dibanding dengan psikotherapi modern yang tak lebih dari sebuah karikatur, dan terakhir eskatologi mengenai tujuan akhir manusia serta Alam semesta dan bagaimana kehidupan sesudah mati. Penjelasan tentang ajaran Tasawuf, lebih jauh lagi, akan mencakup pembicaraan tentang methode-methode kerohanian, aturan-aturannya yang lazim dan cara yang berakar di lubuk hati sang murid. Di dalamnya juga termasuk pembicaraan mengenai hubungan antar guru dan murid dan tentang kebajikan-kebajikan kerohanian, yang lahir dalam jiwa murid setelah jiwanya itu digosok sehingga gemerlap oleh gurunya.
Di samping puisi Sufi yang biasanya berisi gambaran-gambaran sikap dan tingkatan kerohanian (ahwāl) yang berbeda-beda dari jiwa para pendamba Tuhan, hampir seluruh uraian Sufi mengenai salah satu atau lebih dari butir-butir yang garis besarnya telah disebut diatas. Beberapa diantaranya jelas lebih doktrinal, yang lain lebih praktis; namun yang lain lagi bersifat deskriptif dan berusaha melukiskan gambaran-gambaran yang didinginkan lebih daripada memberi perintah-perintah langsung. Kesusastraan Sufi yang demikian luas di dalam segala bahasa orang Islam, diantaranya bahasa Arab dan Persia yang menempati kedudukan amat penting selain banyak juga yang ditulis dalam bahasa orang Islam lain seperti Turki, Urdu, Bengali dan Shindi yang juga tampak cukup penting, merupakan sebuah lautan penuh gelombang yang bergerak ke arah yang berbeda-beda dan memiliki bentuk-bentuk yang berbeda namun selalu kembali ke tempat asalnya dari mana mereka berawal.
Sastra yang monumental ini selamanya segar dan selalu sesuai dengan waktu karena diperoleh melalui ilham. Guru-guru Sufi semuanya mengatakan hal yang sama secara hakiki sepanjang zaman, namun ungkapan mereka berbeda-beda. Karya-karya mereka itu merupakan ciptaan-ciptaan baru sesuai dengan masyarakat yang ditujunya yang berbeda-beda dan berdasar atas pandangan tentang kenyataan batin yang segar. Karya-karya itu seolah-olah hari yang baru, yang sama seperti hari sebelumnya namun tetap segar dan memberikan ilham. Karangan-karangan Sufi yang otentik suatu waktu merupakan kelanjutan horisontal dari pengetahuan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain menuju kembali ke sumbernya yaitu Islam dan juga merupakan kelanjutan pandangan tentang Kebenaran yang vertikal dan segar, yang pada saat yang sama berdiri disumber dan awal wahyu serta di Pusat wujud kita di sini dan sekarang ini.
Oleh karena ia serupa dengan nafas yang memberikan hidup pada tubuh, Tasawuf telah memberikan semangatnya kepada seluruh struktur Islam baik dalam perwujudan sosial maupun intelektualnya. Tarekat-tarekat Sufi sebagai badan-badan yang tersusun dengan baik di dalam kandungan besar masyarakat Islam, mempunyai pengaruh yang kuat dan mendalam atas seluruh struktur masyarakat, walaupun fungsi utama mereka adalah untuk memelihara disiplin kerohanian dan menyebarkan ajaran kerohanian dari generasi ke generasi. Lebih jauh lagi, ada organisasi-organisasi pentahbisan yang sifatnya skunder yang telah berafiliasi dengan Tasawuf sepanjang sejarah Islam, mulai dari tarekat-tarekat yang ketat yang tugasnya menjaga garis depan Islam dan yang dalam bentuknya yang berbeda-beda dikenal sebagai tarekat-tarekat ghazis atau jawanmards yang kemudian dihubungkan dengan zurkhanah di Persia, sampai kepada perhimpunan-perhimpunan dan kelompok-kelompok pengrajin yang berbeda-beda yang berhubungan dengan fatuwwat dan pribadi Ali Ibn Abi Thalib.
Tak ada pengkajian tentang masyarakat Islam secara mendalam bisa mungkin tanpa menjelaskan perilaku masyarakat-masyarakat dalam masyarakat, khususnya pada periode-periode ketika struktur lahir sosial menjadi lemah misalnya setelah serbuan tentara Mongol di negeri-negeri Islam bagian timur. Juga tak ada problem dalam sejarah Islam yang kian banyak itu, sebagaimana problem-problem yang timbul ketika Islam tersebar luas ke Asia atau ketika di Persia terjadi perubahan dari negeri kaum Sunni menjadi negeri kaum Syi’i, yang bisa dipahami tanpa mengacu kepada peranan besar yang dimainkan oleh Tasawuf.
Di lapangan pendidikan peranan Tasawuf juga menonjol, karena tugas utama Tasawuf adalah membentuk pribadi yang penuh sehingga mampu merealisasikan segenap kemampuannya secara lengkap dan sempurna. Partisipasi langsung dari banyak Sufi seperti Khawajah Nizam al-Mulk, wazir dinasti Saljuk, dalam pembangunan universitas-universitas atau madrasah-madrasah sebagaimana peranan pusat-pusat Sufi (zawiyah dalam bahasa Arab, khaniqah dalam bahasa Persia) di dalam administrasi pendidikan menjadikan pengaruh Tasawuf tak terpisahkan dari perkembangan pendidikan dalam Islam. Lagi, pada periode tertentu seperti hanya pada periode setelah orang-orang Mongol berkuasa ketika sistem pendidikan porak poranda di beberapa wilayah, pusat-pusat Sufi tetap merupakan satu-satunya pemelihara-pengetahuan formal dan akademis dan merupakan dasar dari sekolah-sekolah tradisional yang kemudian tumbuh lagi.
Di lapangan seni dan ilmu pengetahuan pengaruh Tasawuf besar sekali. Pengarang buku ini telah berusaha menunjukkan di dalam buku yang lain mengenai betapa dekatnya hubungan tradisi Tasawuf dengan pengembangan ilmu pengetahuan, juga ilmu pengetahuan alam, di dalam Islam. Hampir dalam setiap bentuk seni, mulai dari puisi sampai kepada arsitektur, terlihat dengan jelas perpaduannya dengan Tasawuf. Para Sufi pun hidup di dunia ini seakan-akan tinggal di suatu tempat yang dinamakan sebagai pelataran depan Taman Firdaus, dan karenanya menghirup udara dalam suasana yang penuh suasana kerohanian di mana keindahan memancar dari semua perkataan dan perbuatan mereka. Islam sendiri menyebut salah satu aspek penting ilahi sebagai keindahan, dan gambaran ini khususnya sangat ditekankan di dalam Tasawuf, yang secara kodrati timbul dari Islam dan mengandung hal-hal yang hakiki. Jadi bukanlah suatu kebetulan jika karya-karya yang ditulis para Sufi, apakah puisi atau prosa, merupakan karya-karya besar dalam artian bobot dan keindahannya.
Di lapangan kesusastraan Islam karya-karya paling universal termasuk ladang garapan Tasawuf. Adalah semangat Tasawuf yang membangkitkan kesusastraan Arab dan Persia mulai dari lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epiknya sampai kepada karya-karya didaktik dan mistiknya yang dimensinya sangat universal, dan adalah Tasawuf yang memperkaya sastra Arab, kebanyakan dalam bentuk prosa, dan sastra Persia dalam bentuk puisi. Lebih jauh lagi, banyak bahasa-bahasa Islam yang lebih lokal sifatnya mencapai ketinggian perkembangannya di tangan para penulis Sufi: sebagai contoh, kecemerlangan bahasa Shindi terjadi karena penggalian yang semata-mata dilakukan seorang penyair Sufi, yaitu Abdul Latif. Seperti halnya bahasa Italia dan Jerman yang memperoleh kelahirannya berkat mistikus seperti Dante dan Eckhart, banyak bahasa orang Islam memperoleh perkembangan dan kehidupan yang sebenarnya sebagai bahasa-bahasa orang Islam berkat jasa para penyair Sufi yang genius.
Hal yang serupa bisa dilihat di lapangan musik, arsitektur, kaligrafi, lukisan-lukisan miniatur dan lain-lain. Banyak arsitek-arsitek terkemuka yang dekat dengan Tasawuf melalui perkumpulan-perkumpulan tukang batu dan pembangunan rumah. Begitupun banyak guru-guru kaligrafi dan lukisan miniatur berafiliasi dengan Tasawuf, malahan sering secara langsung, dalam arti bahwa mereka termasuk anggota suatu tarekat Sufi lebih daripada anggota suatu perkumpulan khusus yang pada gilirannya berkaitan dengan sebuah tarekat. Mengenai musik, di dalam Islam hanya diperbolehkan di dalam bentuk konsert kerohanian (sama’ ) yang dipraktikkan dalam Tasawuf, sehingga tradisi-tradisi musik klasik Arab dan Persia seperti Turki, selama berabad-abad lebih banyak dikembangkan oleh mereka yang dekat dengan Tasawuf dan dalam perhimpunan-perhimpunan Sufi.
Lebih jauh lagi, semenjak masa Amir Khusraw banyak sekali guru-guru musik India Utara terkemuka yang memeluk agama Islam dan hal ini masih terjadi sampai sekarang. Perkembangan-perkembangan tertentu dalam musik India bertalian langsung dengan teori dan praktek Tasawuf dan banyak sekali guru-guru musik Muslim India dekat dengan tarekat-tarekat Sufi di anak benua itu. Para Sufi adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan dan visi (dhawq) kemanusiaan; lebih jauh lagi, bukanlah secara kebetulan apabila di dalam bahasa Persia dan Arab dhawq juga berarti selera dan penilaian yang baik dalam seni.
Para Sufi adalah para pengolah seni, bukan karena seni merupakan tujuan Sufi melainkan oleh karena dengan mengikuti Tasawuf seseorang akan menjadi lebih sadar akan Keindahan Ilahi yang menyatakan dirinya di mana-mana dan berdasar inilah para Sufi menciptakan benda-benda menjadi indah, sesuai dengan keindahan kodrat penciptanya sendiri dan juga sesuai dengan norma-norma seni tradisional, yang memancarkan keindahan Sang Seniman Agung. Tugas menjelaskan seluruh aspek Tasawuf dengan bahasa masa kini dan juga dengan cara yang otentik, adalah tugas yang memanggil kita baik di Timur maupun di Barat.
Yang diperlukan di sini adalah menguraikan tidak saja semua fase Tasawuf sendiri yang berbeda-beda sebagaimana telah disinggung garis besarnya di atas, namun juga perlu diuraikan mengenai seluruh manifestasi utama dari Tasawuf dalam peradaban Islam, yang beberapa diantaranya baru saja dikemukakan. Ia merupakan tugas mahabesar yang harus dipikul oleh peminat Tasawuf sendiri. Beberapa karya-karya tradisional yang telah muncul memberikan dasar di dalam penyebarluasan ajaran-ajaran dan doktrin Sufi yang paling mendasar. Tapi banyak yang masih tetap harus dikerjakan dalam menerangkan Tasawuf tidak hanya yang menyangkut esensinya melainkan juga mengenai seluruh perwujudan dan penggunaannya sehingga masyarakat yang sikap dan kebiasaannya berbeda-beda dapat semuanya memperoleh manfaat spiritual dari lautan karunia yang maha luas ini.
Tasawuf | 15.09.2017
Inilah yang kata Najeela Shihab dirumuskan menjadi "semua guru semua murid".
Tasawuf | 26.09.2017
Tasawuf | 02.11.2017