“Takutlah pada murka Allah!”. Demikian kalimat yang sering kita dengar dari mimbar, kajian, bahkan potongan video dakwah yang berseliweran di media sosial. Tuhan digambarkan seolah-olah gampang tersinggung, murka-Nya meledak seperti bom waktu, siap melumat siapa saja yang lalai.
Pertanyaannya: apakah Tuhan sebegitu rapuhnya?
Marah manusia lahir dari nafsu. Ia tumbuh dari luka batin, rasa tidak dihargai, atau ambisi yang terhalang. Jika murka Allah dipahami seperti itu, berarti kita sedang menurunkan Tuhan ke level paling rendah: seperti makhluk yang mudah terbakar emosi. Padahal Allah Maha Suci dari segala sifat kekurangan.
Imam al-Bayhaqi dalam al-Asma’ was-Sifat menegaskan yang kurang lebih artinya: “Murka Allah adalah kehendak-Nya untuk menimpakan hukuman.”
Maka jelas, murka Allah bukan gejolak emosi, tetapi bagian dari iradah (kehendak)-Nya untuk menegakkan keadilan.
Al-Ghazali menjelaskan dalam al-Maqsad al-Asna bahwa Allah mendidik hamba dengan dua jalan: targhib (janji surga yang menumbuhkan harapan) dan tarhib (ancaman neraka yang menumbuhkan kewaspadaan). Dua-duanya bukan lahir dari amarah buta, melainkan strategi Ilahi agar manusia tidak sesat jalan.
Ibnu ‘Arabi bahkan menyingkap rahasia lebih dalam: “Murka dan rahmat adalah dua wajah dari satu hakikat, yaitu cinta Ilahi.”
Ketika kasih sayang tampil lembut, ia disebut jamal. Ketika kasih sayang tampil tegas, ia disebut jalal.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, wajah jalal ini sering dijual berlebihan. Murka Allah dijadikan palu godam di atas kepala umat. Ada ustaz yang lebih senang menakut-nakuti jamaah dengan api neraka ketimbang menginspirasi dengan harapan surga.
Ada pula politikus yang lihai mengutip “murka Allah” hanya untuk memperkuat retorika kampanye. Murka Tuhan akhirnya terasa lebih mirip propaganda ketimbang rahmat yang mendidik.
Padahal, murka Allah sejatinya adalah kasih sayang dalam rupa keadilan—rahmat yang keras agar manusia tak terus melukai dirinya sendiri dan sesamanya. Allah sendiri berfirman dalam An-Nahl: 118: “Kami tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.”
Sama seperti seorang ibu yang menegur keras anaknya agar tidak bermain api, kemarahan itu lahir bukan dari benci, melainkan cinta.
Jika para pemuka agama hanya menjual ketakutan, agama kehilangan daya sembuhnya. Ia menjelma sekadar alat kontrol sosial, bukan cahaya pencerahan. Yang seharusnya disampaikan bukan hanya ancaman, tapi juga makna: di balik murka, ada rahmat yang membersihkan; di balik hukuman, ada cinta yang mendidik.
Maka, jangan takut pada murka Allah seolah-olah itu amarah yang liar. Yang lebih patut kita takutkan adalah ketika hati kita kehilangan rasa adil dan kasih sayang—karena di situlah murka sejati berwujud.
Kasih sayang Allah tidak pernah hilang. Kitalah yang sering salah paham.