Jane Goodall telah berpulang. Selain dikenal sebagai ilmuwan primatologi, kepribadiannya yang penuh rendah hati, sopan kepada siapa pun, telah membekas bagi setiap wajah yang dijumpainya.
Courtesy the Jane Goodall Institute
Ahli primatologi, konservasionis, aktivis hewan, dan pendidik, ini adalah deretan atribusi yang diberikan dunia kepada Dr. Jane Goodall, DBE (Dame Commander, gelar yang diberikan Kerajaan Inggris Raya kepadanya), yang telah meninggal dunia pada usia 91 tahun, pada 1 Oktober 2025. Pendiri Jane Goodall Institute dan Duta Perdamaian PBB itu meninggal dunia karena penyebab alami. Ia berpulang saat sedang tidur.
Dikutip dari situs National Geographic Society Newsroom, Jill Tiefenthaler, Chief Executive Officer dari National Geographic Society, menilai Goodall sebagai sosok yang membawa begitu banyak cahaya ke dunia, dan ia menunjukkan apa yang dapat dicapai oleh satu orang.
“Mengenal Jane berarti mengenal seorang ilmuwan luar biasa, konservasionis, humanis, pendidik, mentor, dan, mungkin yang paling mendalam, seorang pejuang abadi untuk harapan,” ungkap Tiefenthaler.
Dale Peterson, penulis biografi Jane Goodall, menuliskan tentang perilaku sang ilmuwan yang begitu kaya, baik secara sosial dan emosional, antara manusia dan kera.
“Penelitian lapangan awalnya mengamati simpanse di Gombe Stream Game Reserve, di Tanganyika (sekarang Tanzania). Dia adalah ‘wanita yang mendefinisikan ulang manusia,’ tulis Dale Peterson.
Di Indonesia, kalangan ilmuwan dan aktivis lingkungan yang beruntung sempat bertemu dengan Goodall, menyebutnya sebagai ilmuwan yang rendah hati dan sangat inspiratif. Salah satunya Harry Surjadi, mantan wartawan harian Kompas. Ia pernah bertemu Goodall dalam sebuah konferensi internasional di sebuah wilayah konservasi di Kalimantan Tengah, lebih dari 30 tahun lalu.
Tulisan Harry Surjadi saat menjadi wartawan Kompas.
“Aku wawancara Dr. Jane pada forum Great Apes International Conference di Taman Nasional Tanjung Puting pada tahun 1992, berarti sudah 33 tahun yang lalu. Dari pertemuan itu yang paling berkesan untuk saya adalah sosok Jane sebagai ilmuwan yang tidak sombong. Ia sangat sopan --dan menurutku tidak seperti sopannya orang Inggris kebanyakan, serta sangat inspiratif. Ia tahu apa yang ia inginkan dan tujuannya jelas. Saat berbicara ia selalu menginspirasi dan membuat kita yang mendengarnya terpukau,” kenang Harry.
Ia masih menyimpan potongan kliping wawancaranya yang dimuat di harian Kompas dan mengunggahnya di akun media sosialnya. Selain wawancara yang ‘berisi’, Goodall juga memberikannya sebuah buku lengkap dengan tandatangan, padahal Harry mengaku ia tidak meminta buku itu.
“Buku itu mengenai kehidupannya bersama simpanse. Jane itu fokus mentargetkan dan menginspirasi anak muda melalui program Roots and Shoots. Jane selalu membandingkan manusia dengan binatang, terutama simpanse,” tambah Harry.
Jika Harry diberikan buku, maka Rahayu Oktaviani (Ayu), ahli primata sekaligus pendiri Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) justru memberikan buku karyanya kepada Goodall. Buku berjudul “Owa Jawa” itu diberikan saat mereka bertemu di sebuah forum pada 2018.
“Jane sama seperti yang saya lihat di media. Ia selalu penuh energi dan membawa pesan untuk peduli pada bumi dengan kata-kata sederhana tapi mengena, dan ia percaya bahwa tiap orang bisa membawa perubahan, sekecil apapun itu,” kata Ayu. Tahun ini ia menjadi salah satu dari tujuh penerima hibah Whitley Fund for Nature, sebuah organisasi yang berbasis di Inggris.
“Jane mengakhiri percakapan saat itu dengan pesan yang tidak pernah saya lupa, “Thank you for standing on the gibbon's side”, tambah Ayu.
Warisan Tak Ternilai, Data yang Disertai Empati pada Hewan Primata
DR. Puji Rianti, seorang biologis dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang fokus pada genetika konservasi primata Indonesia, memandang sosok Jane Goodall sebagai ilmuwan yang konsisten dan hasil studinya sangat bermanfaat untuk lintas generasi. Goodall juga dinilainya memiliki kemampuan edukasi dan komunikasi yang bagus.
“Dr. Jane Goodall meninggalkan warisan yang luar biasa, bukan hanya dalam hal ilmu pengetahuan tentang perilaku primata, tetapi juga dalam bagaimana kita memandang hubungan antara manusia, satwa, dan alam. Beliau mengajarkan bahwa penelitian itu bukan hanya soal data, tapi juga soal empati, yaitu rasa yang terhubung dengan makhluk hidup lain,” ungkap Puji kepada Alif.
Meski belum pernah bertemu secara langsung, Puji mengatakan bahwa ia tumbuh dengan mengagumi karya dan dedikasi Goodall. Jejak karyanya menerbitkan harapan bagi para ilmuwan perempuan yang fokus pada primata, sesuatu yang belum jamak di Indonesia.
“Bagi banyak peneliti perempuan di bidang primatologi, Dr. Goodall adalah sosok inspiratif yang membuktikan bahwa kelembutan dan ketekunan bisa menjadi kekuatan besar dalam sains,” lanjut Puji.
Apa saja dampak studi Goodall untuk pengembangan sains di Indonesia? Puji mengatakan sangat banyak. Pendekatan observasi jangka panjang yang ia kembangkan telah menjadi model dalam studi perilaku jenis primata di Indonesia, seperti pada jenis kukang, makaka atau monyet, lutung dan kera seperti orangutan, owa dan siamang.
“Filosofi konservasi beliau terkait bagaimana setiap individu primata memiliki nilai intrinsik dan peran penting dalam ekosistem, juga memperkuat pendekatan one health dan konservasi berbasis masyarakat yang kini banyak diterapkan di Indonesia. Di berbagai pusat penelitian primata, termasuk yang ada di IPB University, prinsip-prinsip tersebut menjadi dasar dalam pengelolaan kesejahteraan satwa, penelitian perilaku, dan edukasi masyarakat,” papar Puji.
Kini sang legenda sudah tiada. Kita tak akan lagi menjumpai wajahnya sebagai tamu kehormatan dalam berbagai forum global, dengan suara lembut dan rambut berkuncir sederhana. Namun Dr. Jane Goodall akan selamanya meninggalkan jejak penting dalam dunia konservasi, khususnya studi mengenai primata, yang dijalankannya dengan sungguh-sungguh dan penuh empati.
Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.