Tentu sedikit banyak akan ada yang bertanya ketika seorang konsisten berkunjung atau ziarah ke suatu makam, punden, sendang atau tempat lainnya yang terkadang dicap juga sebagai tempat yang angker wingit.
Jika suatu tempat ini dianggap wingit atau angker mungkin bakal ada pertanyaan muncul, "pesugihan kah?" "Mencari akik atau barang gaib” (dalam arti barang yang diwujudkan dan memiliki tuah) meskipun jika dimaknai secara tekstual pun sebenarnya lucu juga, barang dan gaib. Barang adalah benda berwujud, sementara gaib justru berarti sesuatu yang tidak berwujud. Sudah tahu barang tak wujud kenapa dicari, ya?
Atau jika kita pergi ke suatu makam para tokoh yang membabat desa, para waliyullah kekasih Tuhan pun muncul ungkapan dan kesimpulan bahwa ketika kita datang dengan berziarah ke makam antara menjadi pelarian dari hiruk pikuk "kadunyan" atau dicap sedang berat beban hidup yang tengah dijalani, dengan gambaran seperti meminta dengan sahibul makam.
Padahal, terdapat kemungkinan-kemungkinan yang jika dirunut dan ditelisik lebih jauh pun menjadi banyak bahan obrolan dan dialektika.
Ngobong menyan, dupa, atau bukhur sering dianggap bagian dari klenik, bahkan berbuntut dicap syirik. Sebenarnya ketika datang ke suatu tempat dengan ditemani membakar dupa dan ubo rampenya itu lumrah saja, soalnya hal ini selain sebagai wewangian aroma terapi, juga menjadi pengusir nyamuk misalnya. Menjadi simpel dan fungsional.
Hanya saja, terkadang kita ini telah lama termakan narasi bahkan tayangan film bahwa umumnya orang membakar kemenyan, dupa dan itu kegiatan dukun, apalagi datang memakai udeng atau iket kepala batik, nambah serem, dan sesat kuadrat.
Padahal ketika ke titik wilayah, tempat atau makam, punden hingga sendang mata air dengan ditemani membakar ubo rampe seperangkat dupa, menyan juga didasari dengan doa, doa bagian dari wasilah yang katanya juga dihantarkan lewat asap, tapi mudahnya ya untuk sarana doa, ketika membakar juga didahului tawasulan kepada Kanjeng Nabi para sahabat dan nama para kekasih Allah dan mengharapkan hal yang baik-baik untuk diri kita pasrahkan kepada Tuhan.
Ketika kita blusukan dari punden hingga sendang, makam keramat juga bagian dari menjelajahi atau napak tilas, setiap tilas tokoh tertentu yang membabat suatu wilayah, atau contoh tilas, petilasan Gadjah Mada, Bung Karno hingga Pangeran Diponegoro terkadang memiliki aura positif yang dapat kita refleksikan dan digali.
Semangat untuk membela tanah air mempertahankan jati diri bangsa nusantara diperjuangkan sedemikian, tentunya perjalannya pun tidak lepas dari ikhtiar dan doa yang menyertai, istilah lainnya tentu ada tirakat, riyadlah suluk untuk harapan yang baik-baik kedepannya.
Boleh jadi di setiap tempat yang diyakini sebagai petilasan tokoh tertentu juga bagian dari daerah wilayah yang suci, dalam arti memiliki aura positif sehingga ketika dijadikan untuk berdoa atau bermunajat nyaman, paling tidak untuk muhasabah diri, mengenali tentang diri menjadi lebih tenang dan nyaman.
Sama halnya ketika ke sendang, mbelik hingga mata air pun sebenarnya juga sedang mengetahui atau belajar akan ekosistem di sekitarnya. Diketahui seperti mata air di suatu wilayah biasanya kerap dikelilingi rerimbunan pohon bambu yang diyakini pula sebagai tanaman yang dapat menampung air.
Sehingga ketika di suatu daerah di Nusantara ini juga masih ada tradisi nyadran bersih-bersih mata air dengan membawa ‘sesajen’ atau ubo rampe berupa makanan lengkap tumpeng, ingkung beserta jajanan pasar, selain sebagai ungkapan syukur selama periode tertentu juga sebagai sedekah kepada makhluk hidup di ekosistem sekitar mata air.
Tentunya diberkati dengan lantunan ayat suci hingga kalimah thoyyibah, lalu dipungkasi dengan makan bersama bekal yang telah di bawa tadi, istilahnya slametan sendang mata air, jika ada yang ditinggal di bawah pohon jangan langsung dicap untuk demit.
Sebab itu juga jika ditelisik lagi sedang berbagi kepada makhluk hidup lainnya seperti semut dan hewan lainnya, saling berbagi berkah. Atau lebih menarik lagi ketika tradisi seperti bersih sendang atau slametan itu selalu istiqomah konsisten berjalan dan digelar secara berkelanjutan dengan ubo rampe yang lengkap itu tadi, maka orang akan menjaga dan mengusahakan hasil bumi yang dijadikan ubo rampe itu tadi bakal ada dan terjaga.
Lebih kasunyatan, sesuai realita keadaan ya ketika berkunjung ke suatu tempat yang tengah di sebutkan di atas tadi, diri kita ini menjadi peka, cakap dan juga dapat belajar banyak hal, bahkan suatu tempat dianggap wingit bahkan sakral pun secara ekologis ekosistem suatu wilayah pun menjadi aman, sebab kita tidak bisa semena-mena merusak dengan sengaja.
Terkadang narasi yang digaungkan dengan cara seperti itu juga menguntungkan juga untuk menjaga suatu ekosistem di suatu tempat, sebagai alarm pengingat secara tidak sadar.
Jadi, ketika berkunjung ke suatu makam, punden, candi, sendang atau mata air sebenarnya tidak semenakutkan itu, selain menjadi tempat rekreasi bisa, untuk merenung juga asyik, atau istilah sekarang untuk wisata hingga healing pun juga masuk.
Sehingga secara lintas bidang keilmuan juga jika digali dan dispesifikkan juga nyambung dari sisi pariwisata, belajar kebudayaan, biologi, sejarah, sosial-politik juga bisa, semua lintas ilmu bisa dipelajari tergantung sudut pandang yang kita minati dan diinginkan. Wallahu a’lam bisshowab.