Pada hari Selasa, tanggal 30 Januari 1979, Hamka beserta rombongan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menemui Sri Sultan Hamengkubowono IX di Yogyakarta. Kedatangan rombongan yang dipimpin oleh Hamka itu bermaksud untuk memenuhi undangan untuk turut hadir dalam perayaan Sekaten pada tahun itu. Dalam majalah Tempo edisi 3 Maret 1979, disebutkan bahwa undangan perayaan Sekaten pada pimpinan MUI merupakan peristiwa yang baru pertama kali terjadi.
Pekan pertama bulan Februari di tahun itu merupakan puncak perayaan Maulid Nabi, yang sudah dimulai sejak akhir bulan Desember 1978. Bagi Hamka, kedatangannya ke perayaan Sekaten sebagai ketua MUI memutar kembali memorinya lebih dari setengah abad sebelumnya. Saat usianya masih 16 tahun, Hamka muda merasakan riuh tanah rantau untuk pertama kalinya. Remaja yang penuh gairah untuk melihat hal-hal baru itu bermukim di Kauman, Yogyakarta dan menyaksikan langsung kemeriahan perayaan Sekaten.
Dalam Kenang-Kenangan Hidup (1951), Hamka menulis “pemuda kita turut dalam satu perarakan memperingati Maulid Nabi yang tidak kurang dari 20.000 orang dan semua membawa bendera kertas bertulis al-Islam berwarna hijau.” Catatan pada memoarnya itu merekam ketakjuban Hamka pada sebuah upacara yang belum pernah dijumpainya di kampung halaman sendiri. Pengalaman itu kemudian membekas sampai puluhan tahun dan kembali muncul saat dirinya telah menjadi pimpinan MUI.
Bagi Hamka perayaan Sekaten merupakan salah satu wujud bisa bersatunya agama dalam budaya, meresap ke dalam adat dan dihidupi dalam tradisi yang terus dijaga oleh masyarakat. Ia mengapresiasi Sultan Yogya yang teguh menjaga adat istiadat tetap hidup dengan subur di tengah guncangan perubahan dunia modern.
Sikap pro-tradisi Hamka tersebut dibarengi dengan kritiknya pada sebagian pihak yang menghakimi perayaan Maulid sebagai bid’ah. Dalam majalah Panji Masyarakat edisi 15 Februari 1979 ia menulis “sudah ada suara-suara dari paham agama yang radikal mengatakan bahwa merayakan Maulid adalah bid’ah.” Menurutnya, pelabelan semacam itu merupakan sikap gegabah yang tidak perlu.
Kecenderungannya untuk membela tradisi itu sudah terbangun lewat konsistensi sikap sejak muda. Dalam pengakuannya di Kenang-Kenangan Hidup, Hamka berujar bahwa ia merupakan orang pertama yang membawakan pidato untuk membahas hubungan antara adat dan agama pada sebuah kongres level nasional. Bertempat di Bukittinggi, pada Kongres Muhammadiyah ke-19 tahun 1930 dirinya kala itu berpidato soal “Agama Islam dalam Adat Minangkabau.”
Maka tidak mengherankan dalam artikelnya di Panji Masyarakat 15 Februari 1979 ia tetap kukuh berada pada sisi pembela tradisi. Menariknya, Hamka juga memuat keluhan tambahan tentang gerakan Islam pemberi label bid’ah pada budaya masyarakat muslim di Nusantara. Menurutnya, kelompok semacam itu tidak begitu memahami timbangan mashlahat dan mafsadat. Perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi atau peringatan Nuzulul Qur’an yang juga dirayakan di beberapa kerajaan Islam di Indonesia memiliki nilai mashlahat yang lebih tinggi, oleh sebab itu Hamka mengapresiasi dan menulis “kita kagum dan kita hormati ide yang begitu tinggi” warisan tradisi ini.
Konsistensi menarik dalam interaksinya dengan perayaan Sekaten di Jawa juga bisa dilacak dari sebuah cerpen yang ditulisnya di Pedoman Masjarakat edisi 26 Mei 1937. Sebagai pemimpin redaksi, Hamka mengkhususkan edisi tersebut sebagai edisi khusus menyambut perayaan Maulid Nabi dengan halaman muka memuat sebuah puisi berjudul “12 Rabi’oel Awal 1356.” Cerpen berjudul “Malam Sekaten (Kajoe Palang dan Boelan Sabit)” itu berisi tentang kisah manis tapi tragis antara pemuda muslim bernama Atma dengan seorang perempuan muda Kristen bernama Wardinah.
Dalam cerpen tersebut terdapat sebuah dialog antara Wardinah dan Atma yang saling menaruh rasa namun masing-masing memegang teguh keimanannya. Dalam situasi yang diceritakan mengharukan, Wardinah berkata pada Atma: “tjinta ada bebas, tapi atoeran ada mengoengkoeng kebebasan itoe. Biarlah selamanja engkau tjintai dakoe dan akoe akan terima tjintamoe poela. Tapi sajang, kita ta’ bisa kawin! Akoe ta’ bisa mendjadi isterimoe!” Setelah mendapati isi hati gadis yang ditaksirnya itu, Atma lalu berucap: “Kalau demikian Wardinah, kisah kita ini adalah tjobaan bagi Iman dan kejakinan.”
Sekilas cerpen ini agak terkesan picisan, namun lewat cara bagaimana Hamka menulisnya, akan nampak sikap penulis yang tidak berubah setelah pengalaman pertamanya menyaksikan perayaan Sekaten pada 1924. Dalam cerpen itu ia menulis “sekarang tanda2 keislaman soedah hampir dikalahkan oleh tanda2 Keristen.” Kalimat dalam cerpen yang tengah menggambarkan latar cerita seperti itu tentu tidak datang dari ruang hampa. Penggambaran semacam itu kemungkinan datang dari penglihatannya yang menilai Yogya pada 1924 merupakan daerah yang memiliki semangat kesadaran Islam namun pejabat residennya secara terang-terangan memihak Zending Kristen.
Melompat ke tahun 1979, pengamatan terhadap upaya kristenisasi di tengah perayaan Sekaten kembali muncul dalam laporan redaksi Panji Masyarakat edisi 1 Februari 1979. Dalam laporan itu, redaksi majalah yang dipimpin Hamka itu menyoroti penyebaran sebuah pamflet dalam sebuah pertunjukan sirkus. Menurut pengamatan redaksi, pamflet dari Oriental Circus itu memuat ajaran Kristen yang membuat sebagian masyarakat Islam resah. Sebuah kejadian yang dilaporkan pernah ada sebelumnya di pasar malam Sekaten sekitar tahun 1972.
Jejak kesan mendalam dari perayaan Sekaten 1924 juga kembali bisa ditemukan, baik dalam cerpen “Malam Sekaten” maupun dalam cara Hamka mengisi perayaan Maulid di lingkungan tempatnya tinggal. Pada cerpen yang terbit saat ia berumur 29 tahun itu, Sekaten diidentikkan olehnya sebagai sebuah momen ketika para wali di tanah Jawa menerima masuknya para penganut Islam baru. “Syahadatain” yang diambil sebagai asal-usul kata Sekaten menurutnya sangat pas menggambarkan apa yang ada di dalam perayaan ini. Kemudian dalam cara mengisi perayaan Maulid, sebuah liputan Pekan Maulid Masjid Al-Azhar yang terbit di Panji Masyarakat 1 Maret 1979 menggambarkan bagaimana dalam perayaan Maulid di masjid yang lekat dengan Hamka itu ada kegiatan pengislaman yang dituntun langsung oleh penulis tafsir Al-Azhar itu.
Bukan hanya sekadar upacara kebudayaan, lewat interaksi antara Hamka dengan perayaan Sekaten dapat dilihat semacam serpihan jejak pemikiran bagaimana Hamka menempatkan sikapnya dalam soal agama, budaya, dan pluralitas masyarakat yang disaksikannya. Dirinya nampak tetap teguh dan tidak berubah dalam hal-hal yang disaksikannya sejak pertama bersentuhan dengan realitas sosial-budaya di jantung kebudayaan Jawa tersebut. Pada sisi lain, Hamka juga menunjukkan sisi toleransinya baik dalam praktik tradisi maupun interaksi dengan penganut agama lain. Mungkin aspek kelenturan dan ketegasan yang dijaga seimbang itulah, membuat Hamka dapat diterima oleh banyak kalangan.