Dewi Sri menjadi simbol agraris masyarakat Jawa yang sampai hari ini masih hidup, tetap relevan dalam konteks apapun. Tidak hanya hadir pada ritual atau tradisi, tetapi juga dalam panggung seni.
Salah satu adegan sendratari Dewi Sri (Foto: Ardha – BPK XI)
Di Jawa Timur, keragaman subkultur tak pernah sederhana. Ada arek Surabaya yang blak-blakan, Madura dengan vitalitas merantaunya, Tapal Kuda atau Pandalungan dengan laku santrinya, dan Mataraman yang kadang hanya disebut “wilayah penyangga” antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tetapi sebutan penyangga barangkali juga terlalu sempit. Mataraman juga menyimpan identitas kultural sendiri yang halus dalam unggah-ungguh, lentur dalam menghadapi perubahan, dan selalu punya cara untuk meramu yang sakral dengan yang profan.
Maka ketika ingin memahami religiositas Nusantara, Mataraman juga bisa jadi pintu masuk yang menarik. Di sini spiritualitas tidak kaku, melainkan cair, mengalir di sela bahasa, ritus, dan kesenian. Dalam satu hari, orang bisa membaca doa dengan penuh khidmat di langgar desa, lalu malamnya menari tayub sambil menyanyikan tembang rakyat.
Tak ada pertentangan di situ. Justru yang ada adalah keyakinan bahwa hidup butuh keseimbangan—antara doa dan tawa, antara sawah dan panggung, antara sakral dan profan.
Dewi Sri adalah simbol paling kuat dari keyakinan itu. Ia bukan sekadar dewi padi, melainkan wajah dari imajinasi agraris yang menyatukan manusia dengan bumi. Orang Jawa menyebutnya mbok Sri, dengan penuh sayang sekaligus hormat. Nama yang akrab, seakan ia bagian keluarga sendiri.
Koentjaraningrat (1984) menjelaskan bahwa ritual agraris di Jawa, seperti slametan, wiwit, dan kenduri, berfungsi memperkuat solidaritas sosial dan menjaga keteraturan hidup masyarakat. Sebuah fungsi yang kemudian sering dirangkum para peneliti sebagai ‘lem perekat sosial’. Dan dalam semua itu, Dewi Sri hadir, bukan sebagai patung, melainkan sebagai rasa syukur kolektif.
Namun zaman berubah. Sawah-sawah berpindah fungsi, irigasi mengering, anak-anak muda lebih mengenal layar gawai daripada lumbung padi. Apakah itu berarti Dewi Sri mati? Tidak. Ia berpindah medium. Ia hadir di panggung seni, di ruang kreatif yang dirancang untuk generasi baru.
Sendratari “Dewi Sri – Merti Bumi Ngreksa Pakarti" karya Irwan Riyadi, yang dipentaskan dalam acara Rawat Budaya Mataraman dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI di GOR Bung Karno Nganjuk 22-23 Agustus 2025 lalu, bisa menjadi contoh betapa simbol agraris ini masih punya daya hidup.
Salah satu adegan sendratari Dewi Sri (Foto: Ardha – BPK XI)
Di atas panggung, Dewi Sri ditafsir ulang. Tubuh penari bergerak dengan keluwesan tayub, energi reog memberi daya rancak perkusi, dan nuansa musikal kerakyatan mengingatkan pada suasana pedesaan. Pertunjukan itu bukan nostalgia, melainkan cara berbicara kepada hari ini: tentang pangan yang kian mahal, tentang krisis air yang melanda desa-desa, tentang renggangnya kohesi sosial di kampung yang berubah jadi kota.
Pergelaran, dalam arti ini, bukan sekadar tontonan. Ia adalah ruang perjumpaan antara ingatan dan kebutuhan hari ini. Jacques Rancière (2004) menyebut seni sebagai “redistribusi yang peka”. Ia mengubah cara kita melihat dan merasakan dunia. Dan di Nganjuk malam itu, Dewi Sri bukan sekadar mitos, melainkan cermin untuk membaca zaman.
Relevansi
Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa kebudayaan adalah perjuangan manusia melawan kodrat alam dan zaman. Itu berarti, kebudayaan bukan sekadar melestarikan bentuk, tetapi juga kemampuan beradaptasi. Acara Rawat Budaya Mataraman sesungguhnya sedang melakukan itu: memberi ruang agar simbol lama bisa bicara dalam bahasa baru, agar generasi muda merasa memiliki, bukan sekadar mewarisi.
Antropolog Robert Hefner pernah menegaskan bahwa pluralitas kultural di Jawa menunjukkan bagaimana agama dan adat bersinggungan tanpa harus saling meniadakan. Logika yang sama berlaku pada Dewi Sri di wilayah lain di Nusanta, bahwa ia adalah entitas religius sekaligus kultural.
Di sinilah relevansi Dewi Sri teruji dan terbukti. Ia bukan sekadar mitos agraris, tetapi metafora untuk merawat hidup bersama. Tradisi slametan dengan Dewi Sri di pusatnya pernah menjadi sarana menjaga kohesi sosial. Kini, panggung sendratari bisa berfungsi serupa: tempat kita berkumpul, berefleksi, dan merundingkan ulang nilai kebersamaan.
Religiositas Nusantara, sebagaimana diperlihatkan subkultur Mataraman sebagai satu contohnya, tidak memisahkan sakral dari profan. Doa lahir dari slametan desa, tetapi juga dari tawa di panggung tayub.
Spiritualitas bukan hanya soal kitab, melainkan laku menjaga keseimbangan: dengan alam, dengan sesama, dengan diri. Clifford Geertz, meski membagi Jawa dalam kategori santri–abangan–priyayi, pada akhirnya juga mengakui kelenturan praktik religius di lapangan, yang membuat masyarakat bisa menegosiasikan identitasnya dengan cara kreatif.
Maka dari itu, pada saat yang sama, Dewi Sri bisa dibaca sebagai wajah spiritualitas Nusantara yang tak lekang. Ia mengajarkan bahwa religiositas bukanlah garis lurus menuju satu kebenaran tunggal, melainkan jejaring yang hidup, lentur, penuh negosiasi. Dari sawah hingga panggung, dari lumbung hingga gawai, dari doa hingga tari, Dewi Sri terus hadir, menyesuaikan diri, tapi tetap menjaga inti: syukur pada bumi, hormat pada kehidupan.
Kita jadi mungkin tak lagi menaruh sesaji di pematang, tetapi kita bisa merayakan Dewi Sri lewat tari, musik, atau teater. Kita mungkin tak lagi hidup sepenuhnya dari padi, tetapi kita tetap bergantung pada pangan yang lahir dari tanah dan air.
Dewi Sri mengingatkan kita bahwa spiritualitas Nusantara tidak pernah hilang. Ia hanya berganti wajah—dari lumbung ke panggung, dari ritus ke pergelaran, dari masa lalu ke percakapan hari ini.
Nusantara, lalu lebih sempit lagi Jawa Timur, kemudian lebih fokus lagi subkultur Mataraman sebagai contoh kasus, pada akhirnya dapat dibaca sebagai laboratorium religiositas hibrid karena di sinilah eksperimen-eksperimen kultural berlangsung tanpa harus diumumkan sebagai “eksperimen.” Praktik keseharian, dari slametan, tayub, hingga sendratari Dewi Sri, adalah uji coba sosial yang menghubungkan sakral dan profan, adat dan agama, masa lalu dan masa kini.
Laboratorium semacam ini bekerja melalui negosiasi rasa di mana kapan doa harus didahulukan, kapan hiburan diberi ruang, bagaimana sebuah pergelaran bisa diterima baik oleh kyai maupun seniman. Religiositas yang lahir darinya tidak tunggal, tetapi hibrid—campuran yang lentur, adaptif, sekaligus kreatif. Dan laboratorium yang kita tahu ada di mana-mana di Nusantara dengan berbagai kontekstualisasinya seperti inilah yang menjaga agar religiositas Nusantara tidak beku, melainkan terus relevan dengan tantangan zaman.
Dewi Sri menjadi simbol agraris masyarakat Jawa yang sampai hari ini masih hidup, tetap relevan dalam konteks apapun. Tidak hanya hadir pada ritual atau tradisi, tetapi juga dalam panggung seni.