Umur sering dianggap hanya angka. Ungkapan ini cukup menarik bila konsep itu dipakai pada usia sebuah kota. Sebab, setiap pertambahan umur selalu membawa perubahan. Begitu pula keislaman di masyarakat Banjarmasin hari ini.
Sejak awal, berdirinya kota dan identitas Banjar punya irisan yang sama, yakni Islam. Agama ini melekat dalam identitas Banjar dan berpengaruh besar pada lahirnya Kesultanan. Sejarah kota seribu sungai ini berakar pada penobatan Pangeran Samudera menjadi Sultan Suriansyah. Sejak itu, Islam melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar.
Alfani Daud menyebut ada relasi erat antara Banjar dan Islam. Hairus Salim menambahkan, keduanya ibarat dua sisi mata uang. Tradisi Banjar pun sarat ajaran Islam, dari Baayun Maulid hingga Bahilah. Kini, perkembangan digital ikut membentuk keberislaman Banjar. Pertanyaan pun muncul, bagaimana lanskap Islam Banjar di usia hampir lima abad?
Islam: Sejarah dan Identitas Masyarakat Banjar
Mary Hawkins, seorang akademisi, menjelaskan bahwa Banjar adalah identitas yang “terislamkan”. Hubungan agama dan budaya di sana saling mengisi, bukan saling meniadakan. Dengan kata lain, Islam tidak sekadar dijalankan sebagai ajaran universal. Islam juga dibumikan dalam konteks lokal Banjar.
Hawkins menuliskan judul artikelnya dengan, “Becoming Banjar: Identity and Ethnicity in South Kalimantan.” Menurutnya, menjadi orang Banjar sangat erat kaitannya dengan menjadi Muslim. Identitas Banjar hampir tidak bisa dipisahkan dari Islam. Bahkan, bagi banyak orang Banjar, keislaman bukan sekadar agama pribadi, melainkan penanda etnis. Artinya, “orang Banjar” secara sosial hampir otomatis dimaknai sebagai “orang Islam.”
Islam terus melekat dan menjadi penanda masyarakat Banjar hingga hari ini. Kota Banjarmasin sebagai ruang publik turut terpengaruh. Struktur sosial, lanskap kehidupan sehari-hari, hingga menjadi pengalaman tubuh Muslim Banjar turut membentuk bagaimana kehidupan kota.
Majelis-majelis taklim, misalnya, bertumbuh di sudut-sudut kota. Jalan sempit di gang kecil pun tak menghalangi masyarakat Banjar menuntut ilmu-ilmu keagamaan. Saya pernah mendapati langgar kecil di sudut kota selalu diisi para ulama membacakan kitab-kitab klasik selepas salat Maghrib. Peringatan-peringatan hari besar Islam dirayakan hingga di jalan-jalan kota. Spanduk ucapan para pejabat pun terpampang.
Wajah kota Banjarmasin biasanya dirias cukup meriah, terutama kala menyambut Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, kota ini juga diramaikan dengan penjualan kue-kue atau kudapan khas kala bulan Ramadan tiba. Setiap bulan puasa, jam operasional toko berjualan makanan pun “diatur” oleh regulasi hingga hari ini.
Dunia Digital dan Keberislaman Masyarakat Banjar
Christine Hine, akademisi, mengungkapkan ada tiga konsep kunci dalam memahami dunia digital, khususnya internet dan media sosial, yakni embedded, embodied, dan everyday. Konsep ini menekankan bahwa teknologi digital terikat dalam struktur sosial (embedded), di mana internet dan teknologi selalu hadir dalam konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Penggunaannya dipengaruhi nilai, norma, dan relasi kuasa
Selain itu, teknologi terkait tubuh dan emosi; identitas dan ekspresi terbentuk lewat interaksi digital. Artinya, internet dan teknologi digital melekat dalam pengalaman tubuh (embodied). Terakhir, internet hari ini hadir dalam rutinitas sehari-hari (everyday). Sebab, teknologi sudah jadi rutinitas: bangun, kerja, hingga bersosialisasi. Memahami masyarakat berarti melihat praktik harian, karna internet telah membentuk praktik-praktik keseharian, bukan hanya fenomena “luar biasa” seperti revolusi digital.
Sekilas, Islam dan teknologi digital memiliki kesamaan relasi dengan masyarakat Banjar, di mana dua entitas ini sama-sama terikat dalam struktur sosial, melekat dalam pengalaman, hingga hadir dalam rutinitas harian masyarakat. Walhasil Islam Banjar pun turut terelakkan dari pengaruh teknologi digital.
Rekaman peringatan hari-hari besar Islam dengan sangat mudah kita jumpai di media sosial. Siaran langsung pun tak jarang dilakukan untuk acara-acara keagamaan, seperti Haul Ulama hingga ceramah para Habib.
Selain itu, Muslim Banjar, terutama anak muda, juga semakin terhubung dengan jejaringan keislaman di belahan dunia lain. Ceramah Habib Umar, misalnya, bisa disimak lewat siaran langsung via Instagram, atau
Aplikasi-aplikasi keislaman pun turut berkelindan dengan keislaman masyarakat Banjar, dari gerakan One Day One Juz hingga penggunaan platform Zoom untuk kegiatan mendoakan kerabat jauh meninggal dunia. Video rekaman dari drone kala kegiatan keagamaan pun sering dijumpai di unggahan media sosial. Bahkan, hari ini, selain akun media sosial, banyak masjid atau majelis taklim juga memiliki fitur komunitas di platform berbagi pesan dari Whatsapp atau Telegram.
Jadi, internet dan media sosial telah menjadi bagian dari keberagamaan masyarakat Banjar. Lanskap keberagamaan pun tidak mungkin terpengaruh, karna ia sudah terikat, melekat, dan rutinitas keagamaan sehari-hari. Perubahan pun tak terhindarkan.
Teknologi digital dan internet menghadirkan beragam kemudahan dan dinamika baru dalam Islam Banjar. Relasi-relasi tradisional antara masyarakat dan otoritas agama mengalami pergeseran. Sikap dan pengalaman dalam keterlibatan di tradisi keagamaan tak lagi sama. Mungkin masih banyak lagi. Inilah wajah Islam digital di masyarakat Banjar.
Pertanyaan di atas tampaknya sudah tidak relevan. Kita perlu mengajukan pertanyaan baru. Menjelang usia lima abad kota Banjarmasin, layak kita bertanya, “Apakah teknologi digital masih membuat Islam tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Banjar?”