Suatu hari, Gus Dur silaturahim Pak Idham Chalid di kediamannya, daerah Cipete, Jakarta Selatan. Gus Dur tinggal di Pasar Minggu, area Jakarta Selatan juga. Jadi terbilang dekatlah. Zaman dulu juga tidak terlalu macet. Jadi Gus Dur sering ke rumahnya. Buku berangkat dari Pesantren memuat foto Gus Dur sedang menjenguk Pak Idham yang sedang sakit, di rumahnya. Ada juga foto lain dalam sebuah acara, seperti ilustrasi catatan ini.
Sowan, dalam istilah Jawa, junior kepada seniornya. Selisih umur keduanya memang jauh, Pak Idham lahir tahun 1921, sementara Gus Dur 1940.
Hari itu, ini saya dapat cerita Gus Yahya, keduanya bicara ringan-ringan saja. Soal kiai, soal makanan, soal keluarga, soal perjalanan. Biasalah, obrolan ngalor-ngidul sekenanya. Suasana obrolan begitu memang jadi hobi masyarakat komunal seperti Nahdliyin ini.
Hari itu, Pak Idham menceritakan komplain istrinya karena pulang ke rumah terlambat. Terlambat sekali, tidak sesuai yang dijadwalkan. Keterlambatan ini sebetulnya biasa, namun jadi tidak biasa, karena Pak Idham menjalani kesuamiannya dengan istri lebih dari satu. Poligami. Begitu jelasnya.
“Bagaimana Pak Idham ceritanya?” Gus Dur bertanya.
“Ah, ente, Mas Dur, mancing-mancing saya saja,” Pak Idham merespons pertanyaan Gus Dur. Ulama asal Amuntai Kalimantan Selatan ini kader Kiai Abdul Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur. Jadi Pak Idham takzim juga kepada Gus Dur, meski banyak memiliki perbedaan, terutama ketika Gus Dur menjadi suksesor Pak Idham dalam Muktamar NU 1984 di Pesantren Asembagus, Situbondo.
“Iya, saya dikomplain istri pertama karena datang sangat terlambat di rumah.”
“Terus Pak Idham jawab apa? Cerita apa ke istri?”
“Itu, kan mancing-mancing lagi...”
“Cerita saja Pak, biar plong...”
Lalu keduanya tertawa bersama-sama. Mungkin di rumah Pak Idham saat itu sepi, sehingga berani cerita tanpa beban.
“Jadi istri saya tanya kenapa terlambat. kok terlambat lama sekali?" Lantas Pak Idham memberi alasan. Katanya karena menghadiri pengajian di dua tempat, lalu ziarah kubur. Terus diminta mampir di rumah kiai di sana.
Gus Dur makin tertarik dengan cerita Pak Idham, yang seperti menjadi sesi curhat. “Reaksi istri bagaimana, Pak?” Gus Dur terus mengorek cerita.
"Bohong!" kata Pak Idham menirukan reaksi istrinya.
“Terus Pak Idham jawab apa?”
Pak Idham menyambung pembicaraan dengan enteng. “Ya saya jawab begini saja: sudah tahu bohong, kok masih tanya?"