Amerika Serikat, Inggris, Australia, merekalah yang pernah bersorak di atas darah orang lain, masih belum memberi pengakuan penuh.
Sejarah terkubur di bawah tanah yang masih lembap oleh darah di sebuah negeri kepulauan yang selalu dilukiskan para diplomat asing sebagai “permata di khatulistiwa”. Ada malam-malam ketika suara radio menyiarkan kabar tentang jenderal yang diculik, tubuh yang dipermalukan, dan tarian perempuan yang katanya menista martabat bangsa.
Dari lubang yang disebut Lubang Buaya, lahirlah mitologi politik: tubuh-tubuh para jenderal menjelma simbol abadi, sementara tubuh-tubuh lain yang jutaan jumlahnya dibuang ke sungai, ke jurang, ke hutan, dan dilupakan. Negara memilih merawat satu ingatan dan menghapus yang liyan.
Lima puluh tahun kemudian, seorang peneliti muda bernama Jess Melvin membuka sebuah kotak karton di Banda Aceh. Di dalamnya bukan sekadar arsip, melainkan catatan mekanik tentang bagaimana sebuah negara mengatur pembantaian massal dengan presisi militer. Tiga ribu halaman dokumen rahasia yang ditahbisnya “Indonesian genocide files” menjelaskan bahwa yang selama ini diceritakan sebagai amarah spontan rakyat ternyata adalah operasi sistematis, sebuah Operasi Penumpasan yang diluncurkan titimangsa 1 Oktober 1965, dengan niat resmi: menumpas “sampai ke akar-akarnya”. Kata-kata itu bukan metafora, melainkan perintah yang diterjemahkan menjadi senarai nama, koordinasi komando, dan peta kematian.
Apa arti sebuah arsip? Menurut Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, arsip adalah pengakuan yang tidak bisa dibantah. Ia menulis bahwa sejak lama militer Indonesia menggambarkan pembunuhan lebih dari setengah juta orang sebagai “ledakan komunal” yang tidak terkoordinasi. Namun di dalam dokumen-dokumen inilah, militer sendiri menyebutnya “Annihilation Operation” (“operasi pemusnahan”) yang dilaksanakan bersama rakyat di bawah kendali negara (Melvin, Routledge, 2018, hlm. 3). Sejarah resmi adalah propaganda; sejarah di arsip adalah pengakuan.
Namun negeri ini memilih bergeming. Presiden Joko Widodo, pada peringatan setengah abad tragedi itu tahun 2018 silam, tersenyum ketika ditanya apakah ia akan meminta maaf kepada korban, lalu menjawab: “tidak ada pikiran untuk meminta maaf” (Melvin, 2018, hlm. 7). Seolah-olah permintaan maaf adalah ancaman bagi stabilitas, bukan jalan menuju keadilan. Seolah-olah korban adalah hantu yang lebih aman jika tetap terkubur.
Jadi, siapakah yang berhak menamai sejarah? Apakah negara, dengan monumen dan upacara yang setiap tahun mengulang kisah jenderal? Apakah arsip, dengan angka dan perintah yang telanjang? Ataukah para penyintas yang masih menyimpan trauma di tubuh mereka? Buku Jess Melvin adalah upaya membalik cermin: memperlihatkan wajah negara yang selama ini disembunyikan. Ia menantang kita untuk menyebut tragedi ini bukan sekadar tragedi politik, melainkan genosida. Mungkin, justru dalam keberanian menyebut nama itulah, sejarah bisa dipulihkan.
Dokumen yang Membongkar Sunyi
Sejarah di Indonesia, terutama yang terkait 1965, selalu diatur seperti drama panggung: siapa yang boleh berbicara, siapa yang dibungkam, siapa yang mendapat monumen, dan siapa yang hanya mendapat lubang tanah tanpa nisan. Selama lebih dari lima dekade, narasi resmi Orde Baru mengajarkan bahwa pembantaian massal 1965-66 adalah akibat dari “amarah rakyat” yang meledak, sebuah kekerasan horizontal yang tidak terkendali. Buku pelajaran sekolah menyebutnya sebagai “peristiwa G30S/PKI”, film propaganda ditayangkan setiap malam 30 September, dan monumen di Lubang Buaya menjadi altar nasional untuk tujuh jenderal.
Lalu, Jess Melvin datang membawa sesuatu yang jauh lebih berbahaya tinimbang sekadar opini: ia membawa bukti. Tiga ribu halaman dokumen dari arsip intelijen militer di Banda Aceh menyingkap bahwa sejak 1 Oktober 1965, militer meluncurkan sebuah Operasi Penumpasan dengan tujuan resmi “menumpas sampai ke akar-akarnya” lawan politik utama mereka, Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak ada spontanitas di sini. Yang ada hanyalah birokrasi kematian, dipandu oleh logika militer dan dilegitimasi oleh propaganda.
Istilah yang di dalam dokumen itu digunakan bukan sekadar “penertiban” atau “restorasi keamanan”. Militer sendiri menyebutnya sebagai Operasi Pemusnahan (Annihilation Operation), sebuah istilah yang menandakan niat total untuk menghancurkan musuh sampai hilang dari akar sosialnya. Dengan kata lain, pembunuhan bukanlah residu, melainkan inti dari kebijakan. Kematian dirancang, bukan kebetulan.
Temuan ini menyingkirkan bayang-bayang keraguan yang selama ini ditinggalkan banyak sejarawan. Robert Cribb, misalnya, pernah menulis bahwa tidak ada bukti sistematis tentang catatan pembantaian, sehingga wajar jika sebagian akademisi menyebutnya “kekerasan massal” yang berbeda-beda di tiap daerah (Cribb, 2010). Akan tetapi dengan membuka arsip Aceh, Melvin menunjukkan bahwa dokumen justru ada, dan isinya mengerikan. Tabel target kelompok, kronologi operasi, hingga instruksi kepada sipil untuk ikut serta, semuanya tercatat (Melvin, 2018, hlm. 44). Fakta ini menghantam narasi lama yang menggambarkan tentara hanya sebagai pihak yang “menenangkan massa”.
Lebih dari sekadar arsip, Melvin juga merekam suara manusia. Ia mewawancarai lebih dari 70 penyintas, pelaku, dan saksi mata di Aceh. Mereka bercerita perihal perintah militer kepada warga: “bunuh, atau kalian yang akan dibunuh.” Mereka bercerita tentang truk-truk yang datang malam hari, penuh dengan orang-orang yang tidak pernah kembali. Narasi ini mengingatkan kita bahwa setiap dokumen, betapa pun keringnya bahasa militer, selalu memiliki tubuh yang berdarah sebagai catatan kaki.
Namun yang membuat temuan Melvin terasa menohok adalah keberanian menamakan hal-hal sebagaimana adanya. Ia menulis: “Pembunuhan-pembunuhan tersebut dilakukan sebagai kebijakan negara yang disengaja.” (Melvin, 2018, hlm. 3). Kalimat ini semenjana, tapi gemanya menghancurkan seluruh fondasi narasi Orde Baru. Negara, bukan rakyat, adalah arsitek utama dari genosida ini.
Di titik inilah esai ini menemukan ironi: mengapa harus seorang peneliti dari luar yang membuka kunci arsip, sementara banyak akademisi lokal justru terjebak dalam kehati-hatian, atau lebih tepatnya, ketakutan? Mungkin karena arsip di negeri ini masih dianggap milik penguasa, bukan milik rakyat. Mungkin karena luka itu terlalu dekat, dan suara yang mencoba membicarakannya masih dibungkam oleh stigma “sisa-sisa PKI”.
Dengan membongkar arsip, Melvin menyingkirkan satu lapisan kebohongan. Walakin setiap lapisan kebohongan yang terbuka justru memperlihatkan betapa dalamnya jurang yang harus kita hadapi. Di bawah narasi resmi yang penuh simbol, ada dunia liyan: catatan angka, senarai nama, peta desa, instruksi rahasia. Dunia yang sunyi, tapi sunyi yang dibangun dengan sistematis. Sunyi yang kini bersuara melalui halaman-halaman buku ini.
Genosida sebagai Definisi, Bukan Sekadar Tragedi
Apa arti sebuah nama? Shakespeare pernah bertanya demikian dalam drama tentang cinta dan permusuhan. Tetapi di tanah air kita, nama bukan sekadar kata, melainkan senjata. Menyebut peristiwa 1965 sebagai tragedi politik adalah satu hal. Menyebutnya pembunuhan massal adalah hal lain. Namun mengucapkan kata genosida, itulah ledakan yang mampu mengoyak legitimasi negara dan seluruh narasi yang menopangnya. Jess Melvin memilih kata itu tanpa ragu: Indonesian genocide.
Dalam konvensi internasional tahun 1948, genosida didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan “niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.” Melvin menegaskan bahwa dokumen militer Aceh menunjukkan niat eksplisit untuk menghancurkan PKI sebagai kelompok, bukan sekadar menghabisi individu-individu. Instruksi resmi menggunakan bahasa yang tidak menyisakan ambiguitas: “membasmi sampai ke akar-akarnya” (Melvin, 2018, hlm. 2). Kata-kata itu, bila dimasukkan dalam kerangka hukum internasional, adalah pengakuan terang-terangan atas niat pemusnahan.
Akan tetapi di sinilah perdebatan bermula. Robert Cribb, salah satu sejarawan paling berpengaruh tentang 1965, pernah berpendapat bahwa istilah genosida terlalu dipaksakan. Baginya, yang terjadi lebih tepat disebut “mass killings”, karena korban terutama adalah kelompok politik, bukan etnis atau agama (Cribb, 2010, hlm. 453). Argumen ini masuk akal bila kita membaca definisi genosida secara sempit. Tetapi Melvin justru menunjukkan bahwa definisi konvensi 1948 tidak sekaku itu: genosida bisa terjadi pada kelompok politik jika disertai dimensi etnis atau agama yang terlibat. Di Aceh, banyak korban bukan hanya anggota PKI, tetapi juga etnis Tionghoa, yang dianggap simpatisan komunis (Melvin, 2018, hlm. 216).
Dengan memasukkan dimensi ini, Melvin menantang kita: apakah kita akan terus bersembunyi di balik teknis hukum untuk menghindari kata “genosida”? Ataukah kita berani mengakuinya, meski itu berarti mengutuk negara kita sendiri? Pertanyaan ini lebih dari sekadar akademik. Ia adalah pertanyaan moral, pertanyaan tentang siapa yang berhak atas ingatan.
Kritik terhadap Melvin tentu ada. Sebagian akademisi menilai bahwa dengan menempelkan label genosida, ia sedang melakukan politisasi akademik: memberi bobot moral untuk memaksa negara dan masyarakat internasional mengakui kesalahan. Ada juga yang berpendapat bahwa istilah ini justru menyulitkan rekonsiliasi, karena negara akan semakin defensif bila merasa didakwa melakukan the crime of crimes. Namun, bukankah keadilan selalu lahir dari bahasa nan tajam? Bukankah menyebut “genosida” adalah cara untuk mengembalikan bobot penderitaan korban yang selama ini dipinggirkan?
Lebih jauh, Melvin meneroka bahwa menyebut peristiwa 1965 sebagai genosida membantu memutus narasi lama yang menggambarkannya sebagai “misteri tanpa pelaku.” Narasi itu adalah narasi impunitas: pembunuhan jutaan orang terjadi tanpa dalang, tanpa perintah, tanpa niat. Namun jika kita mengakuinya sebagai genosida, maka pertanyaan berikutnya muncul: siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah hanya Suharto, sang arsitek yang sudah mati? Atau juga para perwira daerah, aparat sipil, bahkan negara-negara Barat yang bersorak di belakang layar?
Dengan demikian, perdebatan istilah ini bukan sekadar akademik, melainkan juga politik global. Dalam politik ingatan, kata-kata menentukan arah masa depan. Menyebutnya tragedi membuat kita berduka lalu melupakan. Menyebutnya genosida menuntut kita mencari keadilan yang tertunda.
Kita bisa merasakan bahwa perlawanan utama Melvin bukan hanya melawan negara Indonesia, melainkan juga melawan ketakutan para akademisi yang terlalu nyaman dengan istilah netral. Ia menolak kompromi linguistik yang selama ini membuat korban tetap anonim. Dengan tegas, ia berkata: ini adalah genocide. Di situlah kekuatan bukunya: ia menamai apa yang hendak dihapus, sehingga yang sunyi bisa bersuara kembali.
Propaganda, Lubang Buaya, dan Sejarah yang Dipalsukan
Di setiap rezim otoriter, mitos adalah amunisi yang lebih efektif daripada peluru. Indonesia tahun 1965 tidak hanya menyaksikan pembunuhan massal, tetapi juga fabrikasi kebenaran yang menjelma menjadi sejarah resmi. Narasi tentang “Gerwani menari telanjang” di Lubang Buaya adalah contoh paling telanjang bagaimana kekerasan imajinasi digunakan untuk menjustifikasi kekerasan nyata. Seperti dicatat Jess Melvin, kisah tentang perempuan-perempuan yang konon menusuk-nusuk alat vital para jenderal sebelum membunuh mereka sama sekali tidak pernah terbukti. Ia lahir dari propaganda militer, diulang di media, dan akhirnya diajarkan di sekolah-sekolah (Melvin, 2018, hlm. 84).
Lubang Buaya menjadi altar politik. Dari situlah lahir film propaganda monumental Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar wajib setiap 30 September selama lebih dari dua dekade. Di layar lebar, tubuh jenderal diposisikan sebagai korban suci, sementara tubuh perempuan komunis ditelanjangi dua kali: pertama oleh kamera, kedua oleh stigma. Saskia Wieringa menunjukkan bagaimana mitos ini adalah “militerisasi seksualitas”, sebuah cara untuk mempermalukan perempuan sekaligus menstigma komunisme sebagai penyimpangan moral (Wieringa, 1995). Sejarah dipelintir menjadi teater moral, tempat negara menjadi hakim tunggal.
Melvin menulis bahwa propaganda semacam ini bukan aksesori, melainkan inti dari operasi militer. Tanpa kisah Gerwani yang kejam, tanpa imajinasi Lubang Buaya yang mengerikan, sulit membayangkan rakyat menerima perintah untuk membunuh tetangga sendiri. Imajinasi horor itu adalah lisensi pembantaian. Dengan menakut-nakuti rakyat akan bahaya komunis, militer membangun legitimasi moral untuk genosida (Melvin, 2018, hlm. 90).
Namun mitos ini tidak berhenti di tahun 1960-an. Hingga kiwari, ia masih hidup di kepala banyak orang Indonesia. Buku pelajaran sekolah dasar masih menyebut G30S/PKI sebagai pengkhianatan terbesar bangsa. Monumen Lubang Buaya tetap berdiri megah, dikunjungi rombongan murid yang diajarkan hanya satu versi sejarah. Dan setiap kali ada yang mencoba membuka narasi liyan, seperti wacana rekonsiliasi atau pengungkapan kebenaran. Selalu ada suara yang mengulang mantera lama: “PKI itu biadab, jangan dibangkitkan lagi.”
Di titik inilah kita melihat bagaimana propaganda bekerja lintas generasi. Ia tidak hanya menghapus suara korban, tetapi juga menanamkan rasa takut di benak anak-anak yang bahkan belum lahir ketika peristiwa terjadi. Ia menjadikan sejarah sebagai senjata psikologis, melumpuhkan keberanian untuk bertanya.
Kritik terhadap buku Melvin mungkin muncul di sini: ia terlalu fokus pada Aceh dan dokumen militer, sementara aspek kultural dari propaganda seperti film, monumen, pelajaran sekolah hanya disentuh sekilas. Padahal, untuk memahami bagaimana genosida bisa terus dibenarkan hingga hari ini, kita perlu membaca propaganda sebagai sistem memori negara. Meski begitu, justru celah ini membuat karya Melvin terbuka untuk dialog: ia memberi pijakan arsip, sementara kita diundang melanjutkan kritik kultural.
Sejarah yang dipalsukan adalah sejarah yang membunuh dua kali: pertama membunuh tubuh, kedua membunuh ingatan. Lubang Buaya adalah kuburan simbolik yang menenggelamkan jutaan korban lain dalam kegelapan. Tugas kita, sebagaimana ditunjukkan Melvin, adalah membongkar lapisan mitos itu: menyadari bahwa di balik setiap cerita tentang “amarah rakyat” atau “tarian Gerwani”, ada perintah militer yang dingin, tertulis jelas di arsip.
Barat yang Bersorak, Timur yang Berdarah
Di balik setiap genosida, selalu ada penonton. Sering kali penonton itu tidak hanya diam, tetapi juga bertepuk tangan. Indonesia tahun 1965 adalah panggung yang ditonton dengan penuh antusias oleh dunia Barat. Di tengah Perang Dingin, pembantaian ratusan ribu orang dianggap bukan tragedi, melainkan kemenangan geopolitik.
Jess Melvin menulis bahwa sejak awal, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menyambut kejatuhan PKI dengan kegembiraan terselubung. Mereka melihat Indonesia sebagai “hadiah besar” dalam pertarungan global melawan komunisme (Melvin, 2018, hlm. 7). Washington, yang ketakutan melihat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan populasi muslim terbanyak karena berpotensi menjadi Kuba Asia, segera membaca darah 1965 sebagai tanda keberhasilan strategi containment.
Dokumen-dokumen deklasifikasi menunjukkan bahwa Kedutaan Besar AS rutin menyerahkan daftar nama anggota PKI kepada militer Indonesia, dengan harapan daftar itu menjadi panduan eksekusi (Simpson, 2008). Inggris meluncurkan kampanye propaganda hitam melalui radio, menyiarkan kabar bohong tentang kekejaman PKI untuk mendorong dukungan rakyat terhadap militer (Melvin, 2018, hlm. 14). Sementara Australia yang kini senang berbicara tentang “hak asasi manusia”, saat itu ikut menari di orbit, memberi dukungan diplomatik bagi rezim baru yang lahir dari genangan darah.
Yang mengerikan adalah betapa cepatnya dunia Barat merayakan pembantaian ini. Majalah Time bahkan menyebutnya sebagai “berita terbaik untuk Asia Barat selama bertahun-tahun” (Melvin, 2018, hlm. 10). Bayangkan, darah setengah juta manusia dibingkai sebagai kabar baik. Bahasa jurnalisme kala itu ikut menjadi instrumen pembenaran, menjadikan pembunuhan sebagai pesta kemenangan kapitalisme.
Melvin menunjukkan bahwa dukungan internasional ini bukan sekadar latar belakang, melainkan bagian integral dari logika genosida. Dengan adanya dukungan moral, diplomatik, dan logistik dari negara-negara Barat, militer Indonesia memperoleh kepercayaan diri untuk melaksanakan operasi pemusnahan tanpa takut konsekuensi (Melvin, 2018, hlm. 15). Impunitas lokal bertemu dengan aplaus global.
Namun, narasi ini mengandung ironi pahit. Di Barat, 1965 disebut “Kemenangan demokrasi”; di Timur, ia adalah luka yang masih bernanah. Di ruang diplomasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dipuji sebagai benteng antikomunis; di desa-desa Jawa, Sumatra, dan Bali, keluarga-keluarga hancur, mayat-mayat terapung di sungai, dan trauma diwariskan lintas generasi. Dunia yang sama, tapi diceritakan dengan dua bahasa yang berlawanan: kemenangan dan kehancuran.
Kritik terhadap Melvin di sini mungkin muncul: bahwa ia terlalu menekankan keterlibatan Barat, sehingga seakan mengurangi agensi lokal. Bukankah militer Indonesia punya kepentingan sendiri: perebutan kekuasaan, ambisi politik, dan ketakutan akan revolusi sosial? Namun justru di titik inilah kelebihan bukunya: ia tidak meniadakan agensi lokal, melainkan menyoroti bagaimana kekerasan domestik bertemu dengan geopolitik global. Genosida 1965 adalah hasil perkawinan antara ambisi militer Indonesia dan restu negara-negara Barat.
Hari ini, lebih dari lima puluh tahun kemudian, negara-negara itu mulai berhadapan dengan tuntutan moral. Parlemen Belanda meminta maaf atas kekerasan kolonial; Inggris dan AS ditantang untuk mengakui peran mereka dalam 1965. Walakin, seperti ditulis Melvin, bukan hanya pengakuan yang penting, melainkan konsekuensi politik: tanpa tanggung jawab internasional, genosida Indonesia akan terus menjadi preseden berbahaya bahwa pembunuhan massal bisa dirayakan jika hasilnya sesuai dengan kepentingan geopolitik.
Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Genosida tidak pernah selesai pada tahun terakhir darah ditumpahkan. Ia hidup jauh melampaui kuburan massal, terus bergema dalam tubuh dan pikiran generasi setelahnya. 1965 bukan sekadar peristiwa sejarah di Indonesia; ia adalah penjara sunyi yang diwariskan dari orang tua ke anak, dari desa ke kota, dari bisikan ke bisikan.
Jess Melvin menulis bahwa narasi negara, yang menafikan tanggung jawab, melahirkan trauma ganda bagi para penyintas: mereka kehilangan keluarga sekaligus kehilangan hak untuk menceritakan kehilangan itu (Melvin, 2018, hlm. 303). Bayangkanlah seorang anak yang melihat ayahnya dibawa truk militer suatu malam dan tidak pernah kembali. Selama puluhan tahun, ia dipaksa menyebut ayahnya sebagai “pengkhianat negara”. Trauma biologis bertemu dengan stigma sosial, menghasilkan luka yang tak bisa sembuh.
Di Aceh, Melvin merekam kisah keluarga yang tubuh-tubuh kerabatnya dibuang ke sungai. Bertahun-tahun kemudian, anak-anak mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa darah keluarganya tidak layak ditangisi secara publik. Mereka belajar bahwa kesedihan harus dijaga seperti rahasia, karena menangis untuk korban berarti mengundang bahaya (Melvin, 2018, hlm. 217). Trauma itu menjelma menjadi kebisuan struktural.
Namun luka bukan hanya milik penyintas. Ia juga menghantui bangsa ini sebagai keseluruhan. Bagaimana mungkin sebuah negara berdiri di atas kuburan ratusan ribu warganya sendiri, lalu berpura-pura sebagai bangsa yang demokratis dan religius? Luka itu adalah paradoks yang tidak pernah selesai. Pemerintah, dari Orde Baru hingga Reformasi, hanya menawarkan kata-kata samar: “tragedi,” “pelajaran sejarah,” “peristiwa kelam.” Kata-kata itu bukan pengakuan, melainkan penyangkalan yang dibungkus eufemisme.
Melvin menegaskan bahwa tanpa pengakuan formal, luka 1965 akan terus menjadi hantu yang menodai republik ini. Simposium nasional 2016, misalnya, memang membuka sedikit ruang bicara, tetapi segera ditutup kembali dengan retorika Menteri Luhut Pandjaitan yang menyebut pemerintah “tidak punya bukti cukup” tentang jumlah korban (Melvin, 2018, hlm. 304). Seolah-olah ratusan ribu tubuh hanyalah rumor. Seolah-olah sungai-sungai yang penuh mayat hanyalah ilusi.
Di tingkat internasional, upaya untuk mengangkat 1965 ke meja hukum juga terbentur politik. International People’s Tribunal (IPT-65) di Den Haag tahun 2015 memang menyatakan bahwa yang terjadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Akan tetapi, tanpa otoritas legal mengikat, keputusan itu tetap hanya seruan moral (Melvin, 2018, hlm. 306). Para jenderal yang terlibat sebagian besar sudah mati, sementara negara menolak membuka arsip dan mengakui kebenaran.
Namun luka yang tak kunjung sembuh ini juga melahirkan bentuk perlawanan liyan: ingatan. Buku-buku seperti karya Putu Oka Sukanta, kesaksian penyintas dalam Breaking the Silence, hingga dokumentasi komunitas lokal, semua menjadi cara untuk melawan kebisuan negara. Melvin menempatkan dirinya dalam arus ini: menulis dengan arsip dan kesaksian untuk menandai bahwa luka itu nyata, dan bahwa sunyi bukanlah bukti ketiadaan, melainkan hasil dari represi sistematis.
Pertanyaannya: berapa generasi lagi yang harus hidup dengan luka ini? Seperti ditulis Melvin, keadilan yang tertunda bukanlah keadilan. Jika negara terus menolak mengakui, maka luka itu akan terus merembes ke dalam setiap sendi masyarakat Indonesia dengan menciptakan paranoia politik, ketakutan akan label “komunis”, dan kebencian yang diwariskan tanpa pernah diurai (Melvin, 2018, hlm. 308).
Di sinilah tragedi 1965 menemukan keabadian kelamnya: ia tidak hanya membunuh ratusan ribu orang pada masanya, tetapi juga membunuh keberanian bangsa untuk menatap dirinya sendiri.
Sejarah yang Menuntut Nama
Sejarah, pada akhirnya, bukan sekadar catatan tentang masa silam. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah bangsa kepada dirinya sendiri. Indonesia, lebih dari setengah abad setelah 1965, masih berdiri di depan cermin yang retak. Gentar menatapnya terlalu lama, khawatir melihat darah yang mengering di permukaannya.
Jess Melvin menutup bukunya dengan sebuah tuntutan moral: kita tidak bisa lagi menyebut peristiwa ini sekadar tragedi politik atau ledakan amarah rakyat. Kita harus menyebutnya dengan nama yang tepat: genosida (Melvin, 2018, hlm. 303). Kata itu berat, penuh konsekuensi, dan karenanya ditakuti. Tapi justru karena berat, ia mampu menimbang ulang keadilan yang selama ini ditunda.
Namun apa yang kita saksikan di negeri ini? Negara memilih menjadi aktor yang gagap, berputar-putar di sekitar eufemisme. Sebaliknya, yang muncul adalah pernyataan setengah hati: “itu pelanggaran Hak Asasi Manusia berat,” atau “peristiwa kelam.” Kata-kata yang terdengar seperti gumaman birokrat yang membaca teks, bukan suara bangsa yang ingin berdamai dengan dirinya sendiri (Melvin, 2018, hlm. 304).
Di sisi lain, dunia internasional pun tidak sepenuhnya bersih. Amerika Serikat, Inggris, Australia, merekalah yang pernah bersorak di atas darah orang lain, masih belum memberi pengakuan penuh. Beberapa senator AS pernah menyerukan permintaan maaf, beberapa organisasi sipil di Belanda dan Inggris menuntut keterbukaan arsip. Namun sejauh ini, tidak ada yang benar-benar menanggung beban moral. Mereka tetap melenggang dengan wajah diplomatis, seakan 1965 hanyalah catatan kaki dalam arsip Perang Dingin.
Apa artinya semua ini bagi korban? Mereka menua tanpa pengakuan. Mereka mati tanpa rehabilitasi. Anak-anak mereka tumbuh dengan identitas yang dilabeli “keturunan PKI,” sebuah cap yang menutup jalan pendidikan, karier, bahkan pernikahan. Luka personal menjadi luka struktural, diwariskan tanpa henti. “Keadilan yang ditunda bukanlah keadilan,” tulis Melvin, mengingatkan bahwa diam bukanlah netralitas, melainkan keberpihakan pada penindas (Melvin, 2018, hlm. 308).
Akan tetapi di luar semua kebisuan itu, ada hal ihwal yang tidak bisa dihapus: ingatan. Ingatan para penyintas, ingatan yang menolak tunduk pada propaganda. Ingatan yang membisikkan kebenaran di antara cucu-cucu ketika televisi menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI. Ingatan yang muncul kembali setiap kali sebuah kuburan massal ditemukan di tepi sungai, meski negara buru-buru menutupinya. Ingatan adalah bentuk perlawanan terakhir yang tidak bisa dibungkam dengan senjata, tidak bisa ditenggelamkan dalam arsip, tidak bisa ditutupi monumen Lubang Buaya.
Di sinilah buku Melvin menjadi penting. Ia bukan sekadar riset akademis, melainkan intervensi moral. Ia membuka arsip militer yang ingin dikubur, menyusun narasi yang ingin dihapus, dan menamai sesuatu yang ingin dilupakan. Ia memberi bahasa pada luka, sehingga yang bisu bisa bersuara.
Sejarah, seperti kata Walter Benjamin, selalu ditulis dari sudut pandang pemenang. Tetapi karya seperti ini mengingatkan kita bahwa para pemenang pun bisa ditantang. Bahwa arsip bukan hanya milik negara, melainkan juga milik mereka yang berani membacanya melawan arus.
Barangkali inilah saatnya kita bertanya: sampai kapan kita terus hidup dengan kebisuan ini? Sampai kapan kita membiarkan sejarah menjadi monumen yang menakutkan anak-anak kita? Sampai kapan kita menghindari kata yang tepat hanya karena takut pada konsekuensinya?
Sejarah menuntut nama. Dan nama itu adalah genosida. Menyebutnya demikian bukan berarti kita berhenti mencintai negeri ini. Sebaliknya, justru dengan mengakuinya kita memberi kesempatan bagi bangsa ini untuk benar-benar dewasa untuk berdiri bukan di atas kuburan tanpa nama, melainkan di atas pengakuan, kejujuran, dan kemungkinan keadilan.
Sampai hari itu tiba, kita akan terus menjadi bangsa yang hidup bersama hantu-hantunya sendiri: hantu yang tidak bisa diusir karena kita menolak memanggilnya dengan nama yang seharusnya.
Begitulah, Indonesia terus memelihara hantu-hantunya dengan disiplin yang mengagumkan. Lebih rapi tinimbang jadwal apel pagi di markas tentara, lebih konsisten daripada jam tayang sinetron. Para pejabat berbicara tentang “rekonsiliasi” sambil tersenyum di depan kamera, lalu bergegas pulang untuk memastikan pintu arsip tetap terkunci rapat. Dunia internasional pura-pura tuli, karena siapa sudi merusak pesta dansa ekonomi demi suara-suara dari kuburan? Barangkali, jika suatu hari nanti para hantu itu belajar menulis siaran pers, barulah negeri ini akan benar-benar tersara bara.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan UIN Palangka Raya. Editor Buku Penerbit Indie Marjin Kiri.
Tarikh | 04.06.2021
Dengan apa orang bisa membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu?
Tarikh | 22.09.2017
Tarikh | 09.10.2017