Solo, 24-26 Desember 1926. Jong Islamieten Bond menyelenggarakan kongres keduanya di kota itu. Ketika ketua Raden Sam sedang berorasi tentang “Islam dan tinjauan dunia”, Haji Agoes Salim mendadak berdiri dan menyingkirkan kain bergambar yang memisahkan anggota perempuan JIB dari anggota laki-laki, sehingga semua anggota terkesiap.
Timbullah centang-perenang besar, dan Salim pun menerangkan perbuatannya. Ia mengatakan, di dalam Alquran penjagaan kesucian itu diserahkan kepada perempuan sendiri; kain itu diperkenalkan oleh kaum lelaki. Selain itu, suara bisik-bisik para gadis yang tidak kelihatan itu, justru menyelewengkan perhatian para laki-laki. Padahal para anggota lelaki sudah melihat dan berwicara dengan perempuan-perempuan itu sebelum pertemuan dimulai. Apakah ditinjau dari segi ini, kain pembatas itu tidak mubazir dan membuat orang tertawa?
Pasca memberikan penjelasan itu, Salim yang menjadi pembimbing JIB menuai banyak dukungan. Insiden itu menjadi indikasi bahwa masalah tradisi lawan modernitas, tetap menjadi masalah pertimbangan juga bagi para pelajar yang menjadi anggota JIB (seperti juga bagi anggota Jong Java dan Jong Sumatranen Bond).
Terutama kedudukan perempuan dalam masyarakat bumipoetra merupakan masalah yang peka untuk para pelajar Muslim. Salim berusaha mendobrak masalah ini: dalam kongres berikutnya pada Desember 1927, gadis-gadis duduk di samping rekan-rekan lelakinya, dan bercampur tanpa ada keributan dalam diskusi-diskusi.
Mengganyang Nasionalisme Sekuler
Sejarawan Hans van Miert–dalam bukunya Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930 (2003)–menjelaskan bahwa Jong Islamieten Bond didirikan pada 1 Januari 1925 sebagai pecahan dari Jong Java. Raden Sam (atau Sjamsoeridjal) pada 1924 menjadi ketua Jong Java. Mula-mula dia ingin memecah perhimpunan menjadi bagian pemuda dan bagian kamitua, di mana bagian kamitua bebas untuk bertungkus-lumus dalam jagat politik praktis.
Selain itu, ia menganjurkan agar Islam dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh anggota Jong Java. Dalam kongres Desember 1924, Sam mengalami banyak hambatan. Usul pembaruan yang diajukannya ditolak, nota bene dengan suara mutlak. Pada hari kongres berakhir, 30 Desember, ia minta Salim maju ke depan untuk membela ide “Islam”-nya itu. Cara tersebut menimbulkan kejengkelan di kalangan Jong Java. Sesudah berlangsung diskusi hebat nan panas, Sam menarik diri dari jabatan ketua. Langsung sesudah kongres itu, ia mendirikan JIB berkerjasama dengan Salim. Mereka berdua bersepaham, bahwa hanya Islam yang mungkin menjadi dasar yang benar dari nasionalisme. Gagasan-gagasan Sam dan Salim itu berpatutan.
Pada akhir 1925, JIB memiliki sekitar 1.000 orang anggota di tujuh cabang, semuanya di Jawa (Batavia, Yogyakarta, Solo, Madiun, Bandung, Magelang, dan Surabaya). Desember 1927 tercatat 1.700 anggota di lima belas cabang (di antaranya dua cabang di Sumatra), Agustus 1928, 2.000 anggota di dua puluh cabang. Sebagian dari mereka adalah bekas anggota Jong Java yang tidak jenak sebagian lagi siswa dan pelajar yang sebelumnya belum pernah menjadi anggota perhimpunan.
Dalam kongresnya yang pertama pada Desember 1925 di Yogyakarta,–di mana Salim tidak keberatan dengan digunakannya kain pemisah antara lelaki dan perempuan–disetujui oleh anggaran dasarnya. Dalam anggaran dasar itu, didedahkan cita-cita keagamaan, bukan berbagai ambisi politik Sam. Tujuan pertama adalah untuk “mempelajari dan memajukan penghayatan Islam”. Juga “menggemburkan dan memajukan simpati terhadap Islam”, termasuk dalam tujuan yang ditetapkan.
[caption width="630" align="alignnone"]
Het Licht, majalah bulanan yang diterbitkan Jong Islamiten Bond. Majalah ini dikabarkan tidak terbit lagi sejak tahun 1931, seiring surutnya JIB (Foto: jejakislam.net)[/caption]Butir-butir lain adalah: kerja sama di antara kaum cendekiawan; melakukan kontak dengan penduduk “lewat Islam”; dan perkembangan jasmani dan rohani anggota–yang merupakan bagian dari anggaran dasar perhimpunan-perhimpunan pemuda. Juga pelbagai caranya tidak menyimpang dari cara-cara dari klub pemuda yang liyan: pengorganisasian kursus-kursus Islam, kegiatan olah raga dan budaya, pembentukan klub-klub studi dan kepanduan, penerbitan surat kabar JIB: Het Licht, buku dan brosur, pembentukan perpustakaan-perpustakaan, dan selanjutnya “semua cara yang sah” yang mengabdi kepada perhimpunan.
Ihwal politik tidak disinggung dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga. Dalam kongres-kongres yang terutama tertera dalam agenda adalah tema-tema keagamaan, tetapi seperti pada rekan-rekan pelajarnya, anggota JIB mendambakan cita-cita politik.
Salim, Sang Arsitek
Menurut sejarawan Michael Francis Laffan, dalam karyanya The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past (2011), Jong Islamieten Bond utamanya adalah proyek Salim. Saat pertengahan tahun dua puluhan, lawan terpentingnya adalah nasionalisme sekuler. Tak dinyana, bahwa Salimlah yang mendorong Raden Sam untuk mendirikan sebuah perhimpunan pemuda Islam, sebuah lawan Jong Java yang sekuler.
Salim juga yang di tahun-tahun itu selalu berbenturan dengan kaum nasionalis sekuler yang lebih tua seperti Soetomo dan Singgih. Dengan enggan Salim melihat bahwa kaum cendekiawan muda lebih berminat kepada dansa, bioskop, dan sepak bola, bukan kepada pembinaan keagamaan. JIB harus menjadi pengimbangnya. Dus, perserikatan itu menjadi pos terdepan Sarekat Islam di tengah para pelajar. Kaum kamitua Muslim khawatir akan kehilangan kontak dengan angkatan cendekiawan muda.
JIB menawarkan alternatif pengganti nasionalisme sekuler. Hanya lewat Islamlaah, kontak yang hilang antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat dipulihkan. Jawanisme Jong Java dalam hal ihwal ini dianggap tidak cocok. Menurut Kasman yang dari 1930 sampai 1933 menjadi ketua JIB, rakyat tidak “Hidup di dalam sejarah keemasan zaman lama, melainkan di dalam nasib malang zaman sekarang” (Noer, 1980: 269). Pelbagai ideologi seperti sosialisme dan komunisme itu terlalu jauh melenceng dari “pengetahuan sekolah”. Islam merupakan titik singgung yang logis antara massa dan kaum cendekiawan.
Dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, sejarawan Deliar Noer mendedahkan, bahwa kala didirikannya Jong Islamieten Bond (atau Persatuan Pemuda Islam) terutama menghadapi sikap permusuhan. Dari kalangan Eropa hanya terdengar suara-suara negatif, sepenuhnya segaris dengan prasangka yang biasa menandai sikap Barat terhadap Timur. Seperti dinyatakan oleh Salim berkenaan dengan kritik terhadap “perhimpunan pemuda”-nya:
[blockquote align="none" author="Van Miert, 2003: 482-3"]Islam bagi banyak orang Barat [...] tetap selalu merupakan masalah yang berbahaya, menyulitkan, dan mengganggu, sehingga dipandang dengan curiga dan tidak dapat didekati tanpa prasangka. Bahkan Prof. Snouck Hurgronje yang di kalangan non-Islam Barat merupakan pakar Islam par excellence, dan bisa bercerita banyak tentang kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk menyelewengkan perhatian kaum muda dari agama yang merupakan agamanya sendiri, terutama kaum muda yang memperoleh pendidikan Barat.[/blockquote]
Pelbagai reaksi negatif orang Eropa itu dapat dicari akarnya pada naluri-naluri anti-Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat dalam masyarakat Hindia. Untuk orang-orang Eropa itu, Islam tetap merupakan agama yang tidak dikenal dan tak disukai, yang para pemeluknya gampang tergelincir dalam agitasi yang fanatik dan anti-Kristen. Di dalam lubuk hati banyak orang Eropa, bersemayam rasa takut terhadap suatu pemberontakan berdarah (jihad) atas nama Islam.
Namun, banyak juga organisasi bumiputra yang nampak tidak senang dengan didirikannya perhimpunan pemuda yang baru itu. JIB harus membela diri menghadapi argumentasi keindonesiaan. Perhimpunan baru berarti perpecahan, padahal orang-orang sedang mengusahakan persatuan. Tentu saja perhimpunan itu terutama disesalkan oleh para anggota Jong Java. Mereka melihat bahwa sebagian dari anggotanya tersedot masuk JIB.
Anggota Jong Islamieten Bond menolak tuduhan itu. Mereka pun memperjuangkan persatuan nasional walau dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Mereka tidak mengidentifikasikan diri sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda lain, dan mereka pun memperjuangkan “hubungan persahabatan, bahkan persaudaraan, dan juga kerja sama sebanyak mungkin” (Van Miert, 2003: 483).
Perilhal ini ialah pengakuan yang indah, tetapi dalam memperjuangkan persatuan itu JIB tidak memainkan peranan yang konstruktif di tengah gerakan pemuda. Apa yang terjadi dengan organisasi-organisasi politik, itulah juga yang terjadi dengan klub-klub pelajar: ideologi keagamaan dan ideologi sekuler ternyata tidak dapat dipersatukan satu sama lain.
Proses perkembangan gerakan pemuda di tahun dua puluhan bukanlah proses yang lancar dan teratur menuju persatuan. Di sekolah-sekolah lanjutan, para pelajar dari berbagai suku bangsa saling mengenal dan sampai pada taraf tertentu saling menghargai, dan mereka pun melihat pelbagai keuntungannya untuk bekerja sama, tetapi tidak berarti, bahwa mereka dapat berjalan bersama tanpa reserve apa pun di jalan menuju “Indonesia merdeka” di masa depan.
Adu kekuatan, salah pengertian dan prasangka, perasaan lebih tinggi dalam budaya dan kepentingan-kepentingan etnik–semua itu menjadi perintang bagi kerja sama yang luwes. Proses persatuan itu berjalan tersendat-sendat.
Meskipun demikian, kaum muda yang pecah itu, yang terserak itu, yang centang perenang itu bicara ini dan itu, akhirnya mampu berdiri bersama juga, dalam satu ikrar bernama: Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928.