Jerusalem pada suatu pagi akhir abad ke-19 bukanlah kota yang terperangkap dalam konflik, seperti yang dikenal dunia hari ini. Ia adalah tubuh tua yang dibasuh matahari, menghembuskan bau roti panggang dari celah gang sempit di Al-Quds, memantulkan nyanyian merpati yang berpesta di pucuk menara.
Di atas kubah emas Al-Aqsa, cahaya menggigil, dan di dinding tua yang retak, sejarah bergelantungan seperti bayangan yang menolak mati. Sebelum bencana datang dalam bentuk kolonialisme dan perang di sana, Palestina hidup dalam ritme yang lebih dalam dan pelan: kekaisaran.
Kesultanan Turki Utsmani, dengan segala kebesaran dan kerumitannya, pernah menjadi kerangka besar yang membingkai kehidupan Palestina selama empat abad. Namun, tidak banyak yang ingat bahwa sebelum konflik modern menyulut api di tanah suci ini, pernah ada sistem dengan segala cacat dan kemurahannya yang mencoba menjaga keseimbangan antara yang sakral dan yang profan, antara manusia dan sejarah, antara tanah dan penghuninya. Di situlah kita memulai: sebelum bencana, ketika Palestina berada dalam bayang-bayang yang panjang, tapi bukan gelap, dari Istanbul.
Sebelum ada konsep negara-bangsa seperti hari ini, sebelum peta-peta kolonial membagi tanah berdasarkan garis lurus di ruang diplomasi Eropa, Palestina adalah wilayah yang hidup dalam pluralitas nan lentur. Ia tidak memiliki batas negara modern, tapi ia memiliki batas spiritual dan geografis yang diakui dalam kesadaran bersama masyarakat Timur Tengah. Kesultanan Utsmani mewarisi wilayah ini dari para pendahulunya (Mamluk dan Ayyubiyah) dan menempatkannya dalam sistem administratif yang masyhur sebagai “vilayet” dan “sanjak”.
Sejak awal abad ke-16, ketika Sultan Selim I menaklukkan kawasan ini, Palestina menjadi bagian dari Provinsi Damaskus, kemudian direorganisasi dalam beberapa unit administratif liyan, tergantung pada kebijakan pusat di Istanbul (Rabo, 2025). Namun, yang paling penting bukanlah struktur birokrasinya, melainkan bagaimana kehidupan lokal tetap mengalir meskipun berada di bawah payung kekuasaan nun jauh. Para petani menanam zaitun dan gandum di Hebron, para ulama menulis tafsir dan fiqih di Nablus, dan para peziarah dari Anatolia, Hijaz, dan Maghrib berjalan kaki menuju Yerusalem, membawa mimpi dan doa dari tanah-tanah yang jauh.
Kesultanan Utsmani bukanlah sekadar kekuasaan militer; ia adalah sistem kompleks yang mengatur tanah, manusia, dan makna. Di Palestina, sistem wakaf (hibah keagamaan) menjadi jantung pengelolaan ruang suci dan pelayanan sosial. Rumah sakit, sekolah, dan dapur umum dibiayai oleh wakaf tanah, dan status tempat-tempat suci dijaga melalui dekrit resmi yang dijuluki “firman” kekaisaran.
Status quo di tempat-tempat suci, misalnya, adalah hasil dari kebijakan Utsmani yang mencoba menyeimbangkan kepentingan semua komunitas agama: Islam, Kristen Ortodoks, Katolik, Armenia, dan Yahudi (Tamārī, 2025). Bagi Istanbul, Jerusalem bukan hanya kota, melainkan pusat simbolis dari legitimasi kekhalifahan. Maka, siapa yang menyapu lantai gereja, siapa yang membuka pintu masjid, bahkan siapa yang membunyikan lonceng, semuanya ditentukan dan dijaga agar tidak menjadi sumber konflik.
Sistem Tanzimat yang diperkenalkan pertengahan abad ke-19 juga membawa pembaharuan hukum, kepemilikan tanah, dan birokrasi lokal. Meskipun dalam banyak kasus reformasi ini dimanfaatkan oleh elit lokal dan spekulan tanah, namun ia juga menciptakan dokumentasi yang kaya atas pola kepemilikan dan hubungan kekuasaan di Palestina sebelum era kolonial (Mahler & Hadi, 2025).
Kota yang Berdoa
Jerusalem pada masa Utsmani adalah tempat yang berdetak dalam tiga keyakinan. Jalan-jalan batu tempat para peziarah Katolik berdoa di Via Dolorosa juga dilewati oleh santri-santri madrasah Syafi’i menuju Masjid Al-Aqsa. Di sisi lain, para pedagang Yahudi Sephardim menjajakan permata, benang emas, dan kitab Talmud di bazar yang sama.
Hebron, kota para nabi, menyimpan Makam Ibrahim yang disakralkan tiga agama. Nablus, dengan sabun zaitunnya yang tersohor hingga Istanbul, menjadi pusat perdagangan dan spiritualitas lokal yang tak kalah penting. Bangunan dengan arsitektur khas Utsmani: kubah batu, jendela lengkung, dan halaman terbuka menjadi saksi hidup atas lintasan zaman yang lebih damai tinimbang masa kiwari (Saifi, 2025).
Mereka yang menulis sejarah, seringkali lupa pada mereka yang mencangkulnya. Di balik nama-nama besar dan perjanjian politik yang meramaikan dokumen kolonial, ada kehidupan para petani yang membajak tanah Palestina dengan tangan kosong dan doa panjang. Mereka adalah tulang belakang masyarakat, pemilik dan penggarap tanah yang hidup dalam sistem musha‘—kepemilikan kolektif desa yang dijaga melalui adat dan konsensus. Pada masa Utsmani, para petani membayar pajak hasil panen kepada negara, dan dalam beberapa kasus, menjadikan sebagian tanah mereka sebagai wakaf, menjadikannya milik Tuhan dan manusia.
Para ulama memainkan peran sentral di luar kekuasaan formal. Mereka bukan saja pengajar dan imam, melainkan penjaga tatanan moral dan budaya. Di Nablus dan Acre, mereka menulis risalah dalam bahasa Arab dan Utsmani, mendamaikan sengketa lokal, serta menjadi perantara antara rakyat dan kekuasaan yang jauh di Istanbul (Sabella, 2025). Dalam bayang-bayang masjid dan madrasah, kehidupan intelektual Palestina berdenyut, meski perlahan.
Di antara semua itu, ada para zair (peziarah, musafir suci dari Balkan, Anatolia, Hijaz, bahkan India) yang datang ke Palestina dengan harapan menyentuh batu, makam, atau air yang diyakini menyimpan berkah. Peziarah inilah yang menghidupkan ruang kota dengan cerita, membawa dunia luar ke pasar Jerusalem, mempertemukan Palestina dengan dunia Islam yang luas dan bhinneka. Mereka tidak menjajah; mereka datang untuk berziarah. Sebuah tindakan yang kini terdengar asing dalam dunia yang dipenuhi drone dan pagar berduri.
Runtuhnya Kekaisaran dan Awal Bencana
Namun bahkan bayang-bayang yang panjang pun punya batasnya. Awal abad ke-20 adalah badai yang tidak menampakkan awal dan akhir dengan jelas. Kesultanan Utsmani, yang oleh sebagian rakyat dilihat sebagai pelindung tanah suci, mulai runtuh digerogoti dari dalam dan luar. Reformasi Tanzimat patah pucuk membendung korupsi elit lokal, gerakan nasionalisme Turki mempersempit ruang otonomi daerah, dan invasi ideologi Eropa mulai meracuni cara melihat tanah dan identitas.
Perang Dunia I menjadi pukulan terakhir. Inggris datang sebagai penyelamat, tapi menjelma penjajah. “Balfour Declaration” tahun 1917 menyatakan dukungan kepada pembentukan “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina tanpa menyebut nama “Palestina” itu sendiri, seolah tanah itu hanyalah panggung kosong yang menunggu pemain baru (Mahler & Hadi, 2025). Sykes-Picot, surat-surat McMahon-Hussein, dan janji-janji palsu lainnya menjadikan Palestina sebagai hadiah perang dalam diplomasi imperialis Eropa.
Tatkala tentara Inggris masuk ke Yerusalem bulan Desember 1917, mereka membawa salib dan bendera, bukan keadilan. Allenby menyatakan dirinya sebagai penakluk yang “membebaskan” kota, tanpa menyadari bahwa dalam lema itu tersembunyi ironi sublim: “yang dibebaskan dari siapa? Dari kehidupan yang telah berjalan selama ratusan tahun? Dari pluralitas yang dijaga oleh status quo Utsmani?” (Nassar, 2025).
Banyak narasi modern melukiskan kekuasaan Utsmani sebagai tirani stagnan. Akan tetapi, sejarah jarang bisa dibaca dengan kaca mata biner. Ya, sistem Utsmani memiliki korupsi, ketimpangan, dan konservatisme. Namun ia juga memiliki stabilitas, dan yang lebih penting: ia menghindari logika penghapusan yang kemudian menjadi ciri kolonialisme Eropa dan Zionisme.
Ketika kekaisaran pergi, ia tidak hanya meninggalkan tanah yang tak bertuan, tapi juga ruang yang terbuka bagi perebutan makna. Inggris tidak sekadar menggantikan Utsmani, mereka mengganti cara melihat Palestina. Dari tanah yang plural menjadi tanah yang bisa dipetakan, dijual, dan dijanjikan kepada orang lain. Dari sistem wakaf menjadi sertifikat milik individual. Dari tempat suci menjadi titik strategis dalam geopolitik Barat. Dari masyarakat agraris menjadi pengungsi.
Zionisme bukan hanya proyek kolonial. Ia adalah proyek modernitas yang menuntut pemurnian. Dalam narasi tersebut, orang Arab Palestina tidak pernah benar-benar ada. Mereka hanya menjadi “gangguan sementara”, yang bisa dipindahkan, dipisahkan, dan dikonstruksi ulang. Inilah tragedi yang Utsmani, dengan segala konservatisme administratifnya, justru berhasil cegah. Kekaisaran tidak mengusir. Negara bangsa, dengan segala batas dan ideologi homogenisasinya, justru melakukan pengusiran.
Hari ini, jika Anda berjalan di gang sempit Yerusalem Timur, atau di reruntuhan Hebron, atau di pasar tua Nablus, maka Anda akan mendengar gema masa lampau yang terkubur. Bukan hanya dalam batu, tapi dalam bau, irama, dan sisa-sisa arsitektur: lengkungan jendela Utsmani, jejak mihrab masjid lama, atau nama jalan yang masih menyimpan bahasa Turki. Tidak ada pelajaran sejarah yang lebih dalam dari kota yang diam. Akan tetapi, di balik diamnya, kota-kota itu menyimpan renungan: bahwa sebelum bencana, sebelum Nakba, sebelum tembok dan kamp pengungsi, Palestina memiliki waktu dan ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
Mungkin, dalam dunia yang dibakar oleh konflik, kita perlu mengingat bukan hanya tragedi, tapi juga kemungkinan. Masa Utsmani bukanlah utopia. Tapi ia menunjukkan bahwa kekuasaan bisa hadir tanpa penghapusan, bahwa pluralitas bisa dijaga oleh struktur yang lentur, bahwa suci tidak harus steril dari keragaman. Sebagaimana ditulis Salīm Tamārī, bahkan sistem pembuangan limbah pun pada masa itu memiliki logika publik dan harmoni: tidak menyingkirkan, tapi menyerap, tidak memisah, tapi menyambung ruang kota (Tamārī, 2025).
Pada akhirnya, mungkin itulah yang maherat: bukan hanya tanah, tapi kemampuan untuk hidup berdampingan dalam satu bayang-bayang yang tidak menyiksa. Sebelum bencana datang dalam bentuk deklarasi dan senjata, tanah ini pernah tahu caranya menampung suara gereja, masjid, dan sinagog. Ia tahu bahwa menjadi rumah bukan berarti memiliki, melainkan mengingat.
Kini, di atas reruntuhan yang dikanonkan sebagai “tanah perjanjian”, para arkeolog modern menggali masa lalu untuk mengukuhkan hak kepemilikan hari ini. Mereka mencari bukti bata untuk menyingkirkan tubuh manusia. Ironi sejarah tak pernah segan. Kolonialisme kiwari datang dalam jas laboratorium dan laporan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Sementara itu, Yerusalem berdiri laksana perempuan tua yang pernah dicintai banyak kekasih, lantas ditelantarkan oleh semuanya. Di dindingnya, waktu tidak menempel sebagai kronologi, tapi sebagai luka yang tetap terbuka. Palestina tidak menuntut dikasihani. Ia hanya ingin diingat, bukan sebagai masalah, tetapi sebagai dunia yang pernah mungkin. Sebelum bencana. Sebelum segalanya diklaim sebagai milik.