Musik adalah bahasa yang selamat dari pendudukan. Ia melintasi pos pemeriksaan, menembus dinding pemisah, dan menyelinap ke jantung dunia yang sibuk menutup mata.
Suara biola itu terdengar lirih dari ruang konser kecil di Ramallah, menembus kaca, menembus dinding, lalu berbaur dengan sirene tentara di kejauhan. Anak-anak duduk di lantai, memeluk lutut, mendengarkan Ramzi Aburedwan memainkan Adagio seolah sedang berdoa.
Matahari sore di luar menimpa tembok tinggi yang membelah kota menjadi dua: satu untuk yang diperbolehkan bermimpi, satu lagi untuk yang tidak. Di antara keduanya, hanya musik yang bisa melintas.
Tiap nada adalah bentuk pengakuan di Palestina, tiap lagu adalah upaya melawan penghapusan. “Musik,” tulis Nili Belkind, “menjadi cara untuk merebut kembali ruang dan diri di bawah geografi kekerasan” (Belkind, 2021, hlm. 3). Di tanah yang dikapling oleh tembok dan izin militer, musik adalah bentuk eksistensi yang paling berbahaya, karena ia tidak bisa ditahan di pos pemeriksaan. Ia menembus penjajahan dengan sesuatu yang lebih halus dari peluru, berupa resonansi.
Dunia luar, yang mandam menegosiasikan perdamaian dalam ruang berpendingin udara, mungkin tak pernah mendengar lagu-lagu yang lahir dari reruntuhan Nablus, atau irama oud (instrumen petik seperti gitar atau kecapi asal Persia yang menyebar ke seluruh Timur Tengah dan sebagian Afrika) yang dimainkan di kamp pengungsian Jenin. Tapi bagi orang-orang Palestina, nada bukan sekadar hiburan: ia adalah sejarah yang dinyanyikan berulang kali agar tidak lenyahlm. Joseph Massad menyebutnya sebagai liberating songs, “lagu-lagu yang menolak menjadi museum penderitaan, melainkan dokumen hidup dari kehendak untuk tetap ada” (Massad, 2021, hlm. 4).
Tiap melodi yang lahir di tanah itu membawa sesuatu yang lebih tua dari perang, lebih kuat dari politik: rasa ingin hidup. “Bernyanyi di Palestina,” tulis Belkind, “adalah untuk bertahan hidup melawan segala rintangan” (2021, hlm. 7). Maka dari itu, setiap nada yang keluar dari bibir Amal Murkus atau dari gitar Jowan Safadi adalah bentuk pengembalian makna, bahwa di tengah kekerasan, masih ada yang percaya pada keindahan.
Akan tetapi keindahan di Palestina bukanlah kemewahan; ia adalah keberanian. Di bawah bayang-bayang penjajahan, musik bukan sekadar ekspresi, melainkan perlawanan yang dibungkus harmoni. Di konser Al-Kamandjâti Conservatory, biola anak-anak kecil melantunkan perlawanan lebih nyaring daripada pidato politik mana pun. Karena ketika dunia bungkam, hanya nada yang berani berbicara, dan di Palestina, ia berbicara dengan seluruh tubuhnya: dalam luka, dalam cinta, dalam kebisuan yang menolak menyerah.
Kolonialisme & Lagu yang tak bisa Dibungkam
Setiap bangsa yang dijajah menemukan cara untuk bertahan hidup. Palestina memilih untuk bernyanyi. Di antara peluru dan propaganda, lahir sebuah bentuk kesaksian yang tidak bisa disensor: lagu. Ia tidak memerlukan tanah untuk tumbuh, cukup udara untuk bergetar. Sejak Nakba 1948, ketika ratusan ribu orang diusir dari rumah mereka, musik menjadi rumah pengganti. Satu-satunya tempat di mana rakyat Palestina masih memiliki kunci untuk masuk.
Joseph Massad menyebut masa itu sebagai “awal dari tradisi musik pembebasan” (liberating songs). Tradisi yang menolak tunduk pada logika penjajahan, karena di dalamnya, kata dan nada bersekutu untuk melawan penghapusan (Massad, 2005, hlm. 12). Lagu-lagu ini tidak hanya menyuarakan awan kelabu; mereka membangun narasi tandingan terhadap sejarah yang dicuri. Dalam bait-baitnya, Palestina tidak tampil sebagai korban, melainkan sebagai bangsa yang terus menulis dirinya dengan suara.
Di awal 1950-an, suara-suara dari dunia Arab mulai menyanyikan luka Palestina dengan nada epik. Fairuz, Umm Kulthum, dan Abdel Wahhab menciptakan elegi yang melampaui batas nasional. Seolah penderitaan Palestina menjadi gema yang menggetarkan seluruh dunia Arab. Namun, seperti dicatat Massad, ada paradoks yang sunyi di baliknya: lagu-lagu itu sering “memelihara jarak politik antara penyanyi dan subjeknya” (2005, hlm. 19). Para diva Mesir dan Lebanon menangis untuk Palestina, tapi mereka melakukannya dari panggung aman, jauh dari checkpoint dan gas air mata.
Mereka menjadikan Palestina simbol, bukan tetangga. Di sinilah musik mulai menanggung beban ganda: menjadi media solidaritas sekaligus alat mitologisasi. Suara-suara besar itu menyalakan empati, tapi juga membekukan Palestina dalam bentuk duka permanen, “Penderitaan yang diubah menjadi sesuatu yang dapat dikonsumsi,” tulis Massad (2005, hlm. 21). Di bawah kolonialisme, bahkan penderitaan bisa dijual sebagai hiburan.
Namun di kamp pengungsian Sabra dan Shatila, di radio bawah tanah Beirut dan Damaskus, lahir generasi musisi baru yang tidak hanya menyanyikan luka, tapi juga menyalakannya. Mereka menulis lirik dengan darah dan debu. “Ya Palestina, kamu adalah luka yang enggan sembuh,” nyanyi salah satu kelompok rakyat pada 1960-an. Musik menjadi bentuk pendidikan politik: liriknya mengajarkan sejarah yang tidak diajarkan di sekolah, ritmenya mengajarkan kesetiaan pada tanah yang tak bisa lagi mereka injak.
Alan Dowty meneroka bahwa dalam konflik Israel-Palestina, “Kata-kata adalah senjata, dan lagu-lagu adalah bentuk ucapan yang lebih abadi tinimbang perjanjian.” (Dowty, 2019, hlm. 212). Kolonialisme berusaha menundukkan bahasa, tapi musik selalu menemukan dialek anyar dalam maqam Arab, dalam ketukan dabke, dalam tangisan biola.
Setiap generasi kemudian menemukan nadanya sendiri untuk melawan. Di Ramallah, orkestra anak-anak memainkan Beethoven untuk menuntut martabat yang sama dengan bangsa lain. Di Gaza, band lokal menulis lagu dengan lirik yang disamarkan, agar lolos dari sensor tentara. Di diaspora, rapper Palestina menulis lagu dalam tiga bahasa: Arab, Inggris, dan kehilangan.
Musik menjadi arsip yang tidak bisa dihapus, walau sejarah resmi berusaha menguburnya. Ia mencatat setiap pemboman, setiap pengusiran, setiap pengkhianatan yang dibungkus diplomasi. “Melalui lagu,” tulis Massad, “Palestina tetap bersikeras untuk ada, bahkan ketika peta-peta menghapusnya.” (2005, hlm. 24).
Justru karena itu musik Palestina terdengar begitu menyayat: karena ia bukan sekadar seni, tapi kesaksian. Setiap nada adalah tubuh yang hilang; setiap melodi adalah nama yang tak boleh dilupakan. Dalam dunia yang membiarkan penjajahan berlangsung di bawah nama keamanan, Palestina memilih untuk tidak membalas dengan senjata, melainkan dengan suara.
Karena di tengah kolonialisme yang membungkam, menyanyi adalah bentuk paling radikal dari keberanian.
Melodi dari Pengasingan
Bagi bangsa yang tercerabut dari tanahnya, ingatan adalah satu-satunya harta yang tersisa. Di Palestina, ingatan itu bernyanyi. Ia bernyanyi di kamp pengungsian di Lebanon, di kafe kecil di Berlin, di jalan-jalan sempit Amman, bahkan di ruang bawah tanah di Jenin di mana listrik datang dan pergi seperti janji. Musik menjadi tali yang menyambungkan rumah yang hilang dengan masa depan yang tak pasti. Sebuah jembatan suara yang menolak patah.
Moslih Kanaaneh menulis bahwa musik Palestina di pengasingan bukan sekadar “tindakan nostalgia,” melainkan “strategi eksistensi kultural” (Kanaaneh dkk., 2013, hlm. 4). Ia bukan nyanyian masa silam, melainkan usaha untuk tetap ada di masa kiwari. Di Swedia, pemain ‘ūd yang kehilangan ayahnya di Nakba mengajarkan anak-anaknya “Ya Tair al-Tayer”, lagu tentang burung yang mencari jalan pulang. Di Ramallah, penyanyi perempuan seperti Amal Murkus mengubah ratapan menjadi ritual penyembuhan: “Setiap nada adalah luka yang dijahit dengan napas,” tulis Kanaaneh (2013, hlm. 8).
Dalam diaspora, tiap konser menjadi reuni spiritual. Orang-orang datang bukan hanya untuk mendengar musik, tetapi untuk mengingat bersama. Tatkala Reem Kelani menyanyikan “As Nazar Yetla‘ Min Shubbak”, ruang teater di London berubah menjadi kampung halaman kolektif. Tidak ada bendera, tidak ada tanah, tapi ada nada, dan itu cukup untuk sementara waktu. “Diaspora,” tulis David McDonald, “berada sebagai komunitas akustik sebelum menjadi komunitas politik” (McDonald, 2025, hlm. 532). Sebuah bangsa yang lahir dari suara sebelum memiliki negara.
Dari Eropa hingga Amerika, generasi baru musisi Palestina menulis ulang identitas mereka dalam bahasa yang tak lagi murni Arab, tapi juga bukan sepenuhnya Barat. Dalam rap, hip-hop, dan spoken word, mereka menggabungkan rasa marah dan cinta, meminjam ritme jalanan New York untuk menceritakan Ramallah. Randa Safieh, rapper perempuan Palestina di London, menulis dalam satu lirik: “Paspor saya adalah keheningan, tanah air saya adalah irama.” Musik menjadi bentuk dokumen alternatif yang lebih jujur daripada paspor, lebih abadi tinimbang perjanjian damai.
Namun di balik suara yang penuh semangat itu, mengalir kesedihan yang tak pernah padam: kesedihan tentang bahasa yang perlahan hilang, tentang anak-anak yang menyebut “home” tanpa tahu di mana letaknya. Heather Bursheh menulis bahwa dalam diaspora, “Setiap pertunjukan menjadi baik duka maupun kelahiran.” (Kanaaneh dkk., 2013, hlm. 11). Setiap lagu adalah pemakaman dan kelahiran bersamaan: pemakaman atas rumah yang hilang, kelahiran atas identitas yang tak bisa dimatikan.
Kekuatan musik Palestina di pengasingan terletak pada keteguhannya untuk tidak memilih antara masa lampau dan masa depan. Ia hidup di ruang antara eksil dan eksistensi. “Bernyanyi,” tulis Kanaaneh, “adalah untuk merasakan kehilangan dan kerinduan secara bersamaan.” (2013, hlm. 13). Dalam lagu-lagu itu, Nakba bukan sekadar tragedi sejarah, tapi denyut kehidupan sehari-hari. Ia hadir di setiap mawwal, setiap harmoni minor, setiap improvisasi yang lahir dari luka.
Laksana laut yang terus membawa garamnya ke setiap tepi dunia, musik Palestina membawa serpihan tanah itu ke mana pun ia pergi. Dalam pengasingan, mereka tidak kehilangan tanah air. Mereka membawanya dalam bentuk suara.
Maka di tengah bising dunia yang menutup telinga terhadap penderitaan, Palestina berbicara melalui lagu: sebuah bangsa yang tidak lahir dari garis di peta, melainkan dari resonansi yang terus menggema di dada mereka yang menolak lupa.
Musik sebagai Ruang Politik dan Etnografi Perlawanan
Konser di Palestina bukan sekadar peristiwa budaya. Ia adalah bentuk demonstrasi yang paling halus, dan paling berani. Ketika seorang anak membawa biola ke panggung di Ramallah, ia tidak hanya memainkan musik; ia sedang menantang sistem yang berusaha menghapus eksistensinya. Nili Belkind menulis, “Beraksi di Palestina berarti menuntut hak untuk terlihat, didengar, dan menjadi bagian dari komunitas.” (Belkind, 2021, hlm. 42). Dalam dunia yang menolak memberi ruang, nada menjadi wilayah terakhir yang bisa direbut kembali.
Di tengah tembok, pos pemeriksaan, dan perizinan militer yang absurd, lahirlah Al-Kamandjâti Conservatory, sebuah sekolah musik yang didirikan oleh Ramzi Aburedwan, anak dari kamp pengungsian Al-Am‘ari yang dulu melempar batu, kiwari mengajarkan anak-anak memainkan viola. Belkind menyebutnya “Transformasi resistansi menjadi resonansi” (2021, hlm. 49). Ruang kecil itu bukan sekadar sekolah seni; ia adalah laboratorium kebebasan. Di sana, anak-anak belajar tentang nada, tapi diam-diam mereka juga belajar tentang martabat.
Dalam setiap kelas, biola, cello, dan oud menjadi alat untuk memahami dunia tanpa perintah militer. Ketika anak-anak itu memainkan Bach, mereka tidak sekadar meminjam tradisi Barat. Mereka sedang membalikkan hierarki kekuasaan: menempatkan Palestina di jantung musik dunia. “Ini adalah pembalikan dari pendengaran kolonial,” tulis Belkind (2021, hlm. 51), “Sebuah cara untuk mengatakan bahwa kita pun bisa menciptakan keindahan, bahkan dalam keadaan terpenjara.”
Namun perlawanan musikal Palestina tidak hanya terjadi di Ramallah atau di kamp pengungsian. Di dalam wilayah Israel sendiri, kelompok System Ali di Jaffa menulis lagu dalam enam bahasa: Arab, Ibrani, Rusia, Amharik, Inggris, dan Yiddish. Mereka menyanyi di bawah bayang-bayang konflik, bukan untuk menyatukan identitas, tapi untuk membongkar ilusi perbedaan. Belkind (2021, hlm. 72) menyebut mereka “Parlemen suara dari yang tak terkendali.” Musik menjadi sidang tanpa ketua, di mana setiap bahasa boleh bicara, setiap luka punya mikrofon.
Walakin, justru di ruang-ruang seperti inilah politik paling intim terjadi. Ketika musisi Palestina dan Israel tampil di panggung yang sama, pertunjukan itu tidak pernah netral. Ia adalah negosiasi antara trauma dan kemanusiaan, antara rasa bersalah dan rasa kehilangan. Belkind mengamati bahwa “Musik menciptakan kedamaian sementara, tetapi tidak pernah yang apolitis.” (2021, hlm. 84). Kedamaian yang dihasilkan musik bukanlah akhir dari konflik, melainkan jeda: sekejap sunyi di tengah hiruk-pikuk penjajahan.
Di bawah bayang-bayang senjata, setiap nada menjadi pilihan moral. Para musisi itu tahu bahwa bahkan dalam keindahan, selalu ada bahaya: keindahan bisa disalahpahami sebagai rekonsiliasi yang palsu. Tapi justru di sinilah kekuatan mereka untuk tetap bernyanyi, tanpa menyerah pada romantisme. Musik mereka bukan tentang melupakan perang, melainkan tentang hidup bersamanya.
Tatkala konser Al-Kamandjâti selesai, dan tentara di pos perbatasan memeriksa setiap instrumen, seorang anak berkata kepada gurunya, “Mereka bisa mengambil biolaku, tapi tidak suaranya.” Barangkali, di sanalah letak inti seluruh perjuangan ini.
Bahwa bagi Palestina, musik bukan sekadar suara. Ia adalah bentuk keberadaan. Ia adalah peta yang tidak bisa dicuri, dan bendera yang tidak perlu dikibarkan. Dalam dunia yang terus berusaha membungkam, Palestina memilih untuk tetap terdengar.
Nada dan Narasi dalam Kultur Palestina
Setiap bangsa menulis sejarahnya dengan tinta; Palestina menulisnya dengan suara. Dalam Routledge Handbook on Palestine, David McDonald menyebut musik Palestina sebagai “a living historiography”, sebuah bentuk penulisan sejarah yang tidak melalui arsip dan dokumen, tetapi melalui tubuh dan napas (McDonald, 2025, hlm. 528). Dalam nyanyian, masa lalu tidak pernah menjadi masa lalu. Ia terus berdenyut di udara, dalam setiap maqam dan setiap detak darbuka.
Dari dabke rakyat di desa-desa Galilea hingga konser simfoni di Ramallah, musik menjadi narasi yang menampung paradoks: antara tradisi dan modernitas, antara kehilangan dan keberanian. Dalam budaya Palestina, bernyanyi adalah bentuk berpikir. Suatu cara mengingat yang melibatkan seluruh tubuh. Ketika para perempuan di Haifa melantunkan“zajal” dalam upacara pernikahan, mereka sedang menulis ulang sejarah keluarga mereka; ketika Amal Murkus naik ke panggung dan menyanyikan “Bara’a Minni”, ia sedang mengajukan gugatan terhadap dunia yang menolak mendengarkan perempuan yang berani.
“Musik,” tulis McDonald, “adalah baik arsip maupun pemberontakan” (2025, hlm. 530). Ia menyimpan memori Nakba dan sekaligus mengumandangkan janji masa depan. Inilah paradoks paling indah dalam kebudayaan Palestina: kesedihan dan harapan berdampingan, seperti dua nada yang disatukan dalam harmoni minor.
Arkian, musik menjadi bentuk teologi baru di tangan para perempuan Palestina. Bukan tentang surga, tetapi tentang bertahan hidup di bumi. Amal Murkus menyanyikan perlawanan dengan nada keibuan, seolah setiap bait adalah doa untuk anak-anak yang tumbuh di bawah drone. Reem Talhami mengubah puisi Mahmoud Darwish menjadi lagu, menjadikannya jembatan antara bahasa dan bunyi. Heather Bursheh menulis bahwa “Suara perempuan di Palestina bukanlah sekadar ekspresi gender, melainkan pemberontakan sonik terhadap patriarki dan pendudukan.” (Kanaaneh dkk., 2013, hlm. 117).
Dalam masyarakat yang diatur oleh kekuasaan kolonial dan tradisi yang menekan, perempuan Palestina menjadikan musik sebagai cara untuk mengambil kembali ruang bicara. Mereka menyanyi bukan karena ingin didengar, tetapi karena menolak bergeming. Suara mereka tidak lembut, tapi jujur. Suara yang tahu betapa mahalnya keberanian untuk terus hiduhlm.
Musik juga menciptakan apa yang oleh McDonald disebut sebagai identitas sonik: sebuah cara menjadi bangsa melalui bunyi, bukan melalui bendera (2025, hlm. 534). Dalam logika kolonial, identitas Palestina selalu dipertanyakan: siapa mereka, dari mana mereka berasal, apakah mereka benar-benar ada. Namun dalam musik, pertanyaan itu tidak lagi relevan. Nada-nada yang keluar dari oud atau qanun tidak memerlukan paspor. Mereka mengenali tanahnya sendiri melalui gema.
Di Ramallah, di kamp pengungsian Shatila, di panggung internasional Paris atau Oslo, identitas sonik Palestina mengalun dalam pelbagai bentuk. Kadang lembut, kadang penuh amarah. Ia melampaui batas-batas yang dibuat oleh politik, menjelma menjadi jalinan universal antara penderitaan dan solidaritas. “Mendengar Palestina,” tulis McDonald (2025, hlm. 537), “adalah untuk mendengarkan suara hati nurani dunia yang sedang menyesuaikan diri.”
Mungkin inilah alasan mengapa musik Palestina begitu menggugah: karena ia tidak meminta belas kasihan, melainkan perhatian. Ia menolak menjadi “latar suara penderitaan” dan memilih menjadi jantung dari keberlanjutan hidup itu sendiri. Dalam tiap nada, bangsa ini menegaskan sesuatu yang lebih dalam dari kebangsaan. Sebuah hak yang paling mendasar: hak untuk bersuara, untuk diingat, untuk didengarkan.
Sebuah Negara Bernama Suara
Di dunia yang membangun tembok untuk memisahkan manusia dari tanahnya, musik Palestina menolak tunduk. Ia tidak membutuhkan peta, tidak menunggu pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia sudah lama menjadi negara tanpa perbatasan, tanpa tentara, tanpa bendera, tapi dengan rakyat yang bernyanyi. Alan Dowty menulis, “Tatkala kebebasan berbicara dibatasi, nyanyian menjadi satu-satunya bentuk kewarganegaraan yang tersisa.” (Dowty, 2019, hlm. 312). Kewarganegaraan di Palestina itu tidak dicetak di atas kertas, tetapi lahir dari suara yang tak mau padam.
Musik adalah bahasa yang selamat dari pendudukan. Ia melintasi pos pemeriksaan, menembus dinding pemisah, dan menyelinap ke jantung dunia yang sibuk menutup mata. Setiap denting oud, tiap hentakan dabke, adalah bukti bahwa bangsa ini masih bernafas. Dalam tiap konser, sekecil apa pun, Palestina seolah berdiri tegak lagi. Bukan di bawah bendera, tapi di bawah cahaya lampu panggung yang sementara, namun cukup untuk menerangi luka yang tak pernah sembuh.
Nili Belkind (2021, hlm. 86) menyebut musik Palestina sebagai “Sebuah tindakan rasa memiliki di pengasingan.” Ia adalah cara bangsa ini memanggil pulang dirinya sendiri. Dalam tiap lagu, mereka menulis ulang kontrak sosial yang dirampas: bahwa manusia punya hak untuk bernyanyi tentang rumahnya.
Maka barangkali, jika dunia tak lagi sanggup memahami Palestina sebagai tempat, biarkan ia dipahami sebagai suara. Sebuah negeri yang hidup di antara nada, disatukan oleh irama, dan diperjuangkan dengan keberanian untuk terus terdengar. Sebab selama musiknya masih dimainkan, Palestina tidak akan pernah hilang karena sebuah bangsa yang bernyanyi, tidak bisa dijajah selamanya.
Begitulah, di negeri yang suaranya sering disamarkan di bawah deru senjata, musik menjadi satu-satunya bahasa yang tak bisa dibungkam. Ia melampaui tubuh, menembus luka, dan menggema di ruang yang bahkan politik tak mampu sentuh. Palestina telah menjelma menjadi simfoni yang diciptakan dari keheningan yang menolak menyerah.
Setiap denting oud adalah nadi, tiap bait adalah napas yang kembali pada dirinya sendiri. Mereka terus bernyanyi di antara reruntuhan, bukan untuk didengar dunia, tapi untuk mengingat bahwa di dalam suara itu, mereka masih hidup. Dan hidup adalah bentuk perlawanan nan paling sani.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan UIN Palangka Raya. Editor Buku Penerbit Indie Marjin Kiri.
Tarikh | 04.06.2021
Dengan apa orang bisa membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu?
Tarikh | 22.09.2017
Tarikh | 09.10.2017